PPN Harus Naik!

 


Halo semuanya!

Tahun 2024, ada kebijakan yang cukup menghebohkan para umat sejagat endonesa, dimana pemerintah ingin menaikkan PPN dari 11% ke 12%. Namun, di awal tahun kemarin, kita disambut oleh bapak presiden bahwa... PPN tidak jadi naik!

Horeeeee!

*sekian


Apakah kita senang karena PPN tidak jadi naik? Ohhh yaaa tentu saja!

Tetapi, pada peraturan perpajakan kita, PPN itu memang sudah disahkan dan dilegalkan naik 12%. Jika pemerintah melakukan cancel dan PPN tidak jadi naik, maka itu sama saja pemerintah tidak mematuhi peraturan perpajakannya sendiri.

Bukankah, memang seharusnya PPN itu naik? Mengapa kita justru senang melihat pemerintah yang melanggar peraturannya sendiri? Dari sini, saya malah menyayangkan mengapa PPN tidak jadi naik?

Jadi begini, PPN naik memang bikin kita kesel. Meskipun yang "katanya" cuma naik 1% padahal secara agregat kenaikan harga itu naik 9%. Sekarang kita lihat barang konsumsi di sekitar kita, harganya sudah pada naik. Yap! Perusahaan dan produsen lainnya sudah antisipasi atas kenaikan PPN ini sehingga mereka sudah menaikkan harga jualnya. Tetapi, pemerintah malah melakukan cancel. Alhasil, PPN tidak jadi naik, tetapi harga barang tetap naik. Pemerintah tidak dapat penambahan pajak, tetapi ente semua membayar seolah PPN memang beneran naik!

Lose-lose solution, dan ini tidak baik.

Jika PPN naik, kita kesel dengan hal itu. Tetapi jika pemerintah melakukan cancel, justru kita harusnya lebih marah akan hal itu. Mengapa? Berarti sudah terlihat bahwa mereka melanggar peraturannya sendiri. Karena memang seharusnya, PPN ITU NAIK!


Kalau kita mau jujur-jujuran ya atas segala yang sudah saya amati. Sebenarnya penolakan atas kenaikan PPN ke 12% itu bukan karena masalah trust ke pemerintah. Faktor ini memang ada, terlebih berita akhir-akhir ini yang bikin mindblowing "kok bisa ada pejabrut yang kayak gitu dan gajinya lebih gede daripada kita?". Peruntukan dana pemerintah dari pajak ini juga peruntukannya enggak jelas. Banyak pemimpin pemda yang aneh, tidak punya leadership skill yang mumpuni. Baca buku strategic management aja belum pernah kayaknya, tetapi langsung terjun memimpin suatu daerah. Hasilnya? Banyak yang zonk pasti.

Faktor tersebut sangat memengaruhi mengapa PPN naik ini ditolak. Namun, faktor yang paling utama memengaruhi atas penolakan PPN ini karena masyarakatnya yang memang enggan membayar pajak.

Andaikan nih, andaikan kita memiliki pemerintah yang bersih, transparan, akuntabel sekalipun, masyarakat tetap akan menolak kenaikan pajak. Itu sudah menjadi sifat naluriah manusia, menolak sesuatu yang tidak bisa dinikmati secara langsung. Kamu bayar pajak sekarang belum tentu dapat benefitnya sekarang. Itulah mengapa, hampir semua orang pasti menolak untuk membayar pajak. Males. Masyakarat penginnya dapat makan gratis, semua sudah tersedia di meja dan kitanya tinggal kipas-kipas aja menikmati hasil bumi.


Di Indonesia, pajak itu akan tetap naik (dan seharusnya naik). Mengapa? Karena memang kita butuh itu sebagai pendapatan negara. Negara yang berdaulat tentunya sudah sangat lazim menggunakan pajak dari rakyatnya. Semua rakyat harus bersama-sama membangun negara untuk tetap dan selalu berdaulat. 

"Tapi bang, Malaysia dan Thailand aja cuma 7%, Singapore 9%. Itu tetangga kita loh! Kenapa kita tidak sanggup segitu juga?"

Betul, idealnya PPN itu ya 7-9% saja. Tetapi yang perlu diingat, beban sosial kita itu tidak setinggi mereka. Negara kita sangat besar, jumlah penduduknya juga sangat banyak. Bahkan mindset jumlah anak ideal aja masih minimal 3 anak per KK alias masih banyak penduduk yang minat untuk beranak-pinak banyak (meskipun program KB sudah sangat berjalan efektif sekarang). 

Beban sosial yang tinggi inilah yang bikin kita mau tidak mau harus memaksa kenaikan pendapatan negara. Ingat, pendapatan negara terbesar itu hanya ada dua: utang dan pajak. Hanya dua itu, semua negara pun sama tidak hanya Indonesia.

Pengenaan pajak yang paling ADIL dan IDEAL itu sebenarnya pajak penghasilan. Kenapa? Karena sangat obyektif. Semakin besar penghasilan kita, maka semakin besar juga pajaknya. Ini skema yang adil banget. Tetapi masalahnya, di Indonesia itu sektor informalnya banyak banget. Sektor informal ini seperti pedagang sate kaki lima, penjual soto pinggir trotoar, akang martabak, pedagang sostel, siomay, cuanki, bakso tusuk, dan lain sebagainya. Mereka ada buanyaakk banget. Apakah mereka bayar pajak? Tentu saja tidak. Boro-boro bayar pajak, usahanya aja tidak terdaftar NIB.

Padahal, kita tau sendiri. Banyak para pekerja sektor informal tersebut yang justru penghasilannya lebih gede dari karyawan BCA sekalipun. Lebih gede daripada karyawan audit firm Big 4. Saya sendiri berkali-kali kedapetan ngobrol sama orang yang naik mobil mid entry keluaran terbaru bayar cash padahal cuma dagang bakso. Apakah mereka bayar pajak? Jelas tidak. Pekerjaan informal itu sangat rawan manipulate. Lagi-lagi, pejabrut yang suka korupsi dan tidak jujur adalah bentuk representasi dari masyarakat yang kebanyakan hobi korupsi dan tidak jujur juga.

Jadi, berjuta-juta beban negara itu ditopang oleh pajaknya para..... pekerja formal! Yap, buat kalian yang sedang bekerja di perusahaan, jadi karyawan nine-to-five yang siang dimarahin bos, malamnya bacotin bos di second account Twitter. Iya, kalian adalah pahlawan bangsa karena pajak negara ditanggung oleh kalian semua. UMKM adalah tulang punggung perekonomian bangsa? UMKM memang usaha yang sangat efektif untuk memutar ekonomi paling cepet secara lokal, tetapi kalau tidak bayar pajak juga sama aja negara tidak punya pendapatan, dan pelaku UMKM buanyak buanget yang tidak bayar pajak, padahal mobil dan rumahnya lebih bagus daripada ente yang pake seragam tempat kalian kerja itu.

"Bang, gimana kalo misal kita pajakin aja orang kaya? Orang-orang kaya itu mending dipajakin tinggi aja lah biar lebih adil!".

Jawabannya: udah. Tidak perlu nyuruh dan ngajarin orang kaya buat bayar pajak, mereka pasti bayar pajak karena kelihatan banget. Justru yang masih sering miss buat tidak bayar pajak ya pelaku sektor informal yang sangat sulit dideteksi. Tampilannya aja pedagang bakso, tetapi investasi sawahnya ada dimana-mana. Lagian ya, jika kita terlalu tinggi ngasih pajak ke orang kaya doang, mereka bisa aja kabur ke negara tetangga yang lebih rendah pajaknya. Iya, nominal pajak kita itu juga bersaing dengan negara lain.

Nah, susah kan?

Itulah kenapa pemerintah beralih ke PPN. Karena lebih gampang. Semua rata bayar 12%, mau miskin, menengah, sampe kaya sekalipun tetep dikenakan 12%. Beda dengan pajak penghasilan yang subyektif, PPN semua kena. Mau kamu ultra miskiners sekalipun, beli es teh di Alpamart tetep kena 12%. Mampus ga lo?

Apakah adil?

Hanya orang gila dan edan kuadran enam yang bilang PPN itu adil. PPN jelas tidak adil, tidak enak, dan sangat berpotensi bikin rakyat kesel. Tetapi, bagi pemerintah, ini cara yang paling gampang untuk menarik pajak rakyat. Lha gimana? Mau menerapkan pajak penghasilan tapi banyak yang tidak jujur kok!

Bagaimanapun, negara ini butuh pendapatan yang banyak untuk membangun kembali negara. Tinggal bagaimana peruntukan pajak tersebut untuk digunakan sebagaimana semestinya secara efektif dan se-efisien mungkin. Jika kita kebanyakan demo dan merusak fasilitas umum, itu malah bikin pajak kita terbuang sia-sia. Kita perbaiki pelan-pelan, yang bisa kita lakukan sekarang adalah bertindak jujur dan berpikir rasional. 

Negara yang maju justru pajaknya sangat tinggi. Di Jerman, sekolah memang free all in one, tapi pajaknya tidak main-main. Belum lagi "uang sumbangan" khusus di Jerman yang banyak tidak diketahui semua orang. Kenaikan PPN ke 12% bukan berarti kita bisa langsung menikmati fasilitas umum seperti layaknya negara maju. Mau naik atau tidak, toh akhirnya juga akan naik kok. Lebih baik, gunakan waktu dan energi kita untuk lebih produktif lagi, setidaknya untuk mempersiapkan generasi selanjutnya menjadi pejabat yang lebih kompeten dan ahli dalam mengelola keuangan negara. 

Jika pemerintah Pak Jokowi menggunakan utang sebagai landasan pendapatan negara, pemerintah Pak Prabowo akan menggunakan pajak sebagai landasannya.


Adios!


13 Komentar

  1. Yes, beberapa kali aku sempat ngeyel sama supplier barang kalau nggak seharusnya mereka naikin harga barang karena bukan termasuk barang mewah. Tapi ya back again, alasan supplier tuh klasik, karena udah kadung ada berita PPN naik dan beberapa alat produksi mereka (mesin) tuh kena imbas PPN 12%. Meski nggak semua barang naik, tetep aja imbasnya ya pembebanan biaya produksi dari barang yang mereka pakai. Jadi nggak guna juga pemerintah men-cancel kenaikan PPN itu. :(

    BalasHapus
  2. Kerasa banget sih kenaikan PPN. Meskipun dicancel tapi yo nggak berasa. Tetap saja begitu. Terus kenapa pakai bilang cancel segala ya. Ah sudahlah.

    BalasHapus
  3. Mengenai kenaikan pajak ini emang pro kontra yaa, tapi yaa mau gimana lagi makin kesini apapun emang semakin mahal huhu

    BalasHapus
  4. Aslinya yaa sudah cukup berat juga sih pajak di negara ini kalau untuk pegiat usaha kecil seperti saya misalnya..

    Tapi ya paling tidak masih ada untungnya tidak semua kena pajak yang 12% itu.. harapannya sih.. kedepan bisa turun pajaknya hehehe..

    BalasHapus
  5. beberapa kali nulis artikel pajak emang kenaikan pajak ini bisa buat memajukan perekonomian sih, namun balik lagi ga semua rakyat kita siap

    BalasHapus
  6. Saya sih setuju² saj ada pajak yang ditarik oleh negara pada rakyatnya asal beneran lho digunakan untuk kepentingan rakyat, tidak disalahgunakan apalagi dikorupsi. Kalau sampai itu dana pajak belok² rakyat sakit hati.

    BalasHapus
  7. PPN naik, meskipun berat tapi harus diikuti yang penting harus untuk kemajuan bangsa Indonesia

    BalasHapus
  8. Semoga kenaikan PPN atau apapun itu demi kesejahteraan rakyat. Sekarang kan ada program makan siang gratis, penambahan ASN, dll atau pembangunan dll.

    BalasHapus
  9. Dicancel atau enggak gak ngaruh sih karena di gemoysaya sembako dll Idha pada naik
    Dan gak ikut dicancel itu naiknya
    Harga tetep aja
    Yg rugi ya kita masyarakat juga kan?
    Pendapatan suami tetap, tapi pengeluaran harian dan bulanan udah naik duluan

    BalasHapus
  10. terima kasih buat insight-nya kak sekarang aku sedikit lebih mengerti soal pajak ini. kadang suka iri sih sama negara maju yang pajak dan hasil yang didapat warganya itu sebanding jadi mereka bayar pajak tinggi tapi fasilitas sekolah gratis dan pendidikan merata nggak kayak di sini. btw aku sekarang penasaran kalau influencer atau tiktoker yang penghasilannya gede banget itu kira-kira pajaknya gede juga nggak ya dan ribet nggak ngisi pajaknya soalnya kan mereka nggak berbentuk badan usaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harusnya sih, tetap dikenakan sebagai Pajak Penghasilan atas pribadi, bukan badan usaha. Sama seperti solopreneur, freelancer, dan sebagainya yang tidak berbentuk badan usaha, tidak menjadi karyawan, tapi melakukan "usaha" mandiri, maka perlu lapor untuk pajak penghasilannya.

      Hapus
  11. Baru tahu juga tentang konsep pajak begini. Tapi emang sih kenaikannya berasa banget. Cuma penasaran ujungnya gimana nih di cancel tapi kita tetap mengalami kenaikan harga gini?

    BalasHapus
  12. Kenaikan harga ini kerasa banget. Mau beli kuota aja bingung pilih yang mana, banyak yang naik soalnya. Meski PPN nggak jadi naik, tapi tetep aja kenaikan harga yang udah dilakuin para produsen tetep bikin kesel. Tapii, kalo diliat lagi dari sisi produsen ya gimana, mereka udah antisipasi kenaikan pajak ini biar usahanya tetep bisa berdiri, eh pemerintah tiba-tiba cancel kenaikan PPN.

    BalasHapus

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia
Gopaylater Ads