Mensyukuri Privilege Orang Lain





Kalau kita lagi down karena pencapaian-pencapaian kita banyak yang tidak berhasil kita gapai, kadang bestie kita akan mengeluarkan kata mutiara "Sudahlah, banyak yang lebih tidak beruntung daripada elu, banyak yang lebih kurang dari elu, syukuri saja!". Beruntung kalau bestie-mu ngasih kata mutiara, tapi kalau malah "Ah elah brouu udahh lupain aja mending ciu bekonang aja kita", saranku mending keluar lah dari circle asdfghjkl tersebut.

Hal kayak gini juga sering terjadi di saat kita menghadiri acara-acara ceramah atau motivasi religi untuk selalu bersyukur dengan melihat ke bawah; lebih tepatnya orang-orang yang "status"nya ada di bawah kita. Gak salah sih, tapi coba kita berpikir sebaliknya; gimana kalau kita bersyukur jika kita melihat sesuatu yang ada di atas kita? Bersyukur teman-teman kita berhasil mencapai tujuannya, bersyukur ada orang yang berhasil di bisnisnya, bersyukur ada orang yang berhasil lulus kuliah dari luar negeri, dan sebagainya--meskipun semua pencapaian-pencapaian dari orang lain tersebut berasal dari privilege keluarga mereka.

Emang sih sering banget kita ngerasa iri atas pencapaian orang lain. "Ih iyalah dia bisa bangun bisnis, lha wong bapaknya punya tambang emerald!", "Ya enak dia mah dari keluarga kaya jadi bisa sekolah tinggi di tempat yang bagus.", dan sebagainya. Wajar sih jika kita sebenarnya iri atas pencapaian orang lain (dalam artian ini wajar yang buruk lho ya) karena manusia memang dilahirkan untuk memiliki sifat superior. Disaat dia merasa ada yang lebih superior, maka akan terjadi Crab Mentality; rasa ingin menjatuhkan orang lain. Lalu disaat semua usahanya sia-sia, barulah terbesit kata-kata mutiara "bersyukurlah karena ada yang lebih tidak seberuntung dirimu!".

Menurutku, kalau memang kita ingin berubah dan "naik level", aku rasa mindset ini dibalik. Bagaimana jika kita bersyukur dengan melihat ke atas? Karena bagiku, syukur tidak akan ada syukur jika tidak ada kufur. Cuma karena kata kufur disini berkonotasi negatif, maka kuganti kalimatnya dengan "syukur tidak akan ada syukur jika tidak ada pujian kepada Sang Maha Pemberi Kebaikan". Artinya, kita juga merasa senang jika ada orang lain "yang diberi kebaikan" dan membuat kita ketrigger agar diberi kebaikan yang sama juga meskipun dirimu tahu bahwa hal itu sia-sia.

Misalnya gini, ketika kita melakukan suatu usaha seringkali kita mensyukuri sesuatu yang salah. "Allhamdulillah hari ini dapat 100 ribu, lumayan lah daripada yang lain cuma dapat 50 ribu atau bahkan ada yang ga dapet.", "Allhamdulillah dapet kerjaan gajinya 50 ribu, lumayan lah daripada yang lain ada yang nganggur.", dan sebagainya. Padahal kalau kita tidak mentah-mentah dalam bersyukur, bisa jadi kita bisa mendapatkan lebih dari 100 ribu. "Ah, hari ini cuma dapat 100 ribu, harus kerja lebih keras lagi nih biar dapat 1 juta!". Meskipun faktanya nanti kamu mentok cuma dapat 500ribu, tapi setidaknya kamu sudah ketrigger untuk mendapatkan sesuatu yang lebih, kamu ketrigger untuk berjuang lebih keras lagi hingga akhirnya kamu tidak memiliki waktu untuk merasa iri terhadap pencapaian orang lain.

Bukankah hidup di dunia tidak semata-mata hanya mencari bekal untuk di kehidupan selanjutnya melainkan berusaha mati-matian untuk mensejahterakan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya? Lalu, untuk apa definisi pandai bersyukur itu jika kita membandingkan pencapaian kita dengan hanya melihat ke bawah? Memang jika kita melihat ke atas, kita tidak pandai bersyukur?

Meskipun orang lain memiliki segudang privilege, kenapa kita tidak memanfaatkan itu untuk meng-trigger-kan kita agar berusaha mati-matian mendapatkan status yang serupa meskipun hal tersebut jika secara logika normal dinilai tidak mungkin? Setidaknya, kita tidak hanya mendapatkan 100 ribu, melainkan 500 ribu!

ya gitu deh...

0 Komentar

Gocicil Tokopedia
Gopaylater Ads