Pendidikan Tinggi Bersifat Tersier? Lah Emang Iya Kok!

 
Isu mengenai UKT sempat menjadi perbincangan yang sangat ramai, baik di lingkungan mahasiswa, orang tua mahasiswa, teman mahasiswa, dan alumni mahasiswa. Memang, masalah UKT yang semakin naik ini menjadi momok yang cukup berat, seolah-olah perguruan tinggi menjadi semakin ekslusif dan hanya bisa diraih oleh orang-orang yang cukup berprivellege.

Bahasan mengenai kenaikan UKT ini menjadi topik yang sangat hangat hingga mantan karyawan Gojek, Pak Nadiem Makarim (ya bener kan?), bersuara terhadap ini. Akhirnya, Pak Nadiem memutuskan agar kenaikan UKT ini enggak jadi, alias ditunda. Ingat ya, ditunda. Bukan dibatalkan.

Kericuhan isu mengenai UKT ini menimbulkan banyak masyarakat membutuhkan penjelasan dari pemerintah dengan membawa satu pertanyaan besar "Apakah UKT sebenarnya perlu naik?". Nah, masalah kenaikan UKT malah menjadi melebar gara-gara salah satu pegawai pemerintah mengatakan bahwa pendidikan tinggi itu adalah pendidikan tersier. Bukanlah pendidikan yang utama. Akhirnya? Ricuh satu negara!
 
Banyak yang mengkritisi hal ini:
"Oh pantes aja negara kita ga maju-maju. Pendidikan tinggi aja dibilang tersier!"
"Contoh memelihara kebodohan rakyat!"
"Gimana negara ini bisa maju jika pendidikan saja tidak diperhatikan?"
"Pendidikan tinggi tersier? Lah, sekarang daftar kerja aja harus lulusan S1!"
dan komentar pedas lain, dimana dari banyaknya komentar membawa ke dalam suatu kesimpulan "Sebenarnya, pemerintah tuh peduli sama pendidikan gak sih?! Kok bisa pendidikan perguruan tinggi itu dikatakan tersier?"

Saya telah berusaha membaca berbagai artikel dan media masa mengenai ini. Saya juga mengamati baik dan buruk tentang perguruan tinggi yang dianggap tersier dan berusaha memahami maksud dari pegawai tersebut "Mengapa pendidikan tinggi itu dikatakan tersier?". Dengan sangat terpaksa, saya menyatakan bahwa saya setuju jika pendidikan tinggi adalah jenis pendidikan tersier! 

Tenang! Jangan ngamuk dulu. Saya jelaskan alasannya.

Di dunia yang luas ini, jumlah penduduknya buanyaaakk sekali. Bermilyar-milyar manusia di seluruh dunia yang saling terhubung satu sama lain. 
Nah rata-rata, di seluruh dunia ini, orang-orang hanya mengenyam pendidikan formal selama 8 tahun! Itu  berarti, rata-rata orang hanya mengenyam sampai tingkat maksimal SMP saja! Itupun belum lulus SMP karena untuk sampai ke SMP membutuhkan 9 tahun.

Orang yang lulus SMP itu menjadi rata-rata di INDONESIA! Begitu juga dengan negara Nigeria. Biasa, tipikal negoro miskin. Kalau ada yang bilang Indonesia adalah negara yang kaya, tidak kawan. SDA kita kaya? Lah, arti dari kekayaan adalah sumber daya yang kita miliki dan bisa kita kuasai atau manfaatkan. Memang seberapa maksimal kita bisa memanfaatkan SDA? Hanya sebatas tanam ubi lalu tidak perlu dipupuk dan tunggulah sampai panen, toh? Tapi pernah tidak, bikin teknologi yang fit dengan kesuburan tanah Indonesia ini hingga tanam padi dan bisa panen hanya dalam waktu 1 bulan tanpa merusak alam? Enggak, kan?

Balik ke topik.
Kalian bisa melihat data di bawah ini:
 
Negara maju yang GDPnya tinggi seperti Jepang dan Amerika itupun, rata-rata penempuhan pendidikan formal hanya sampai D2. Yah, sekilas diploma aja.
Kok bisa? Yah memang faktanya begitu kok!
Jadi, jangan dikira jika negara maju seperti Jepang dan Amerika itu semua penduduknya menempuh pendidikan tinggi! Tidak, bahkan lulusan perguruan tinggi menjadi minoritas di sana karena rata-rata lulusan diploma atau akademi.

Lagian, kalau mau disambungin dengan kasus UKT, perguruan tinggi di Amerika justru lebih ugal-ugalan mematok student fees, bahkan hingga muncul tren student loan di sana. Tak heran, jika ada istilah Ivy League, alias perguruan tinggi khususon wong sugeh.

Mengapa demikian?
Karena progress pendidikan di tiap negara pun beriringan dengan progress pada sektor lain. Tidak bisa langsung "kita harus fokus ke pendidikan!", lha terus sektor ekonomi yang lain gimana? Memang ente mau bermiskin-miskin selama 20-30 tahun? Return dari "investasi" pendidikan itu selama minimal satu generasi, lho! Artinya, jika pemerintah benar-benar fokus dana APBN ditaruh ke pendidikan, maka manfaat dari alokasi dana APBN tersebut baru kerasa manfaatnya paling cepat 20 tahun kemudian.

Jadi, kalau kalian berpikir pemerintah harus alokasi mayoritas dana APBN ke pendidikan, maka kalian juga harus mau hidup tanpa teknologi canggih dan siap-siap makan tiwul sebagai makanan pokok tiap hari. Enggak ada seblak, enggak ada takoyaki, enggak ada lagi ice tea with squeezed orange. Enggak ada! Ekonomi bakal lesu mati-matian namun anak-anak kalian bisa sekolah sampai kuliah 100% gratis dan ketika mereka udah lulus, maka mereka generasi pertama yang memecahkan rekor menjadi sandwich generation terbanyak di dunia.

Jadi, janganlah marah-marah dulu. Amerika yang GDP per kapitanya berkali-kali lipat saja rata-rata cuma 14 tahunan kok. Kenapa kita, yang GDP per kapitanya tidak ada apa-apanya, dengan status negara yang overpopulasi ini tiba-tiba berharap semua penduduknya harus minimal sarjana?

"BIAYA KULIAH HARUS MURAH BAHKAN KALAU BISA GRATIS!"

Rata-rata GDP per kapita di dunia saat ini adalah US$12.000, sedangkan kita kurang dari US$6000. Lah, dengan rata-rata GDP per kapita seperti ini kok ngarep kualitas pendidikan setara negara maju yang GDPnya lebih dari US$12.000. Ya jelas tidak mungkin. Mau dari kacamata manapun, jelas ini tidak mungkin.

Ingat, investasi pendidikan itu jenis investasi termahal dengan return terlama.

Dipikir, biaya kuliah dari kampus PTN itu pakai apaan? Segala biaya-biaya yang timbul di PTN itu menjadi tanggungan negara. Namun sayangnya, tidak semua bisa dicover negara. Kenapa? Ya karena APBN enggak cukup. Kembali lagi, memang kalian mau harus makan tiwul dan say goodbye sama seblak yang kalian idam-idamkan itu? Kalau masih tidak setuju dengan statement ini, maka silahkan hidup dengan makan apa yang kamu tanam, bukan yang kamu beli. Modyaaarr!

Lah terus, kenapa dana APBN kita enggak cukup? Konsep tentang penerimaan negara sudah pernah saya bahas di sini. Penerimaan pajak kita itu enggak maksimal. Lha gimana mau maksimal jika orang-orangnya banyak yang kere. Mau dipatok pajak tinggi juga tidak mungkin, pasti banyak yang demo. Pajak industri? Ah enggak seberapa, negara kita bukan negara industri.
 
Lagian, biaya operasional kampus sudah tidak bisa lagi disamakan seperti dulu. Ada faktor inflasi yang membuat biaya operasional semakin tinggi dari tahun ke tahun. Belum lagi, mahasiswa kampus semakin banyak karena akses ke pendidikan tinggi semakin mudah. Padahal, subsidi dari pemerintah ya segitu-gitu aja. Sudahlah, kita itu perlu menyadari jika negara kita masih kere, belum sekaya itu pemerintah bisa memberikan subsidi pendidikan untuk semua orang. Gratisin sekolah dari SD sampai SMA itu sudah poin plus dan achievement banget buat kualitas pendidikan kita karena 40 tahun yang lalu, Indonesia masih menjadi negara yang unlitterate atau buta huruf.

"KALAU BUKAN PENDIDIKAN, TERUS APA YANG MEMBUAT NEGARA KITA MAJU?"

Pada waktu Jepang terkena bom atom oleh sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, kalimat pertama yang keluar dari mulut Sang Kaisar adalah "berapa banyak guru kita yang selamat?". Dari sini, kita bisa melihat pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Kita juga bisa melihat negara yang terbelakang namun saat ini menjadi salah satu pemimpin ekonomi global, seperti Singapura dan Korea Selatan. Apa tipsnya? Pendidikan!

Namun, ada hal yang harus kita pertanyaan ulang di dalam diri kita: "sebenarnya, kita tuh butuh pendidikan atau ijazah?".
Jika saya mengamati, mayoritas orang tidak peduli dengan pendidikan, mereka hanya peduli dengan ijazah. Orang yang niat belajar itu sudah langka sekarang. Itulah mengapa banyak joki skripsi dan joki tugas, karena memang banyaknya orang yang sebenarnya tidak peduli dengan output menjadi pintar.

Kondisi seperti ini akan menjadi bunuh diri jika pendidikan kita gratiskan, atau murah. Ijazah tidak lagi dihargai oleh pemberi kerja saking banyaknya orang bisa kuliah. Terlebih, banyak perguruan tinggi yang mempermudah mahasiswanya buat lulus berIPK tinggi, bukan berkemampuan tinggi. Mengapa perguruan tinggi mempermudah lulusannya? Balik lagi, karena mahasiswanya sendiri tidak peduli dengan output menjadi pintar, yang penting ijazahnya. Jika 90% mahasiswa berpikiran begini, lalu pihak perguruan tinggi "mempersulit", ya kali yang lulus hanya 10% doang?

Terlebih, ketika kita membicarakan PTN yang semakin ke sini diberikan banyak bantuan, membuat PTN menjadi semakin terjangkau. Belum lagi, perguruan tinggi swasta lain yang diberikan "kesempatan" untuk berdiri meskipun akreditasi C. Apa dampaknya? Lulusan sarjana jadi tidak spesial. Banyak yang bisa kuliah sarjana karena pendidikan tinggi semakin terjangkau. Akibatnya, banyak orang yang sebenarnya tidak niat belajar, tetapi karena demi melamar kerja, dia harus berkuliah dan lulus sarjana. Efek domino seperti ini semakin banyak mencetak sampah akademik yang semakin kental dengan kalimat "udah sarjana, tapi tidak bisa apa-apa."
 
Padahal, sarjana itu diciptakan menjadi makhluk yang akademis. Setidaknya, kalau ngomong berdasarkan data bukan hanya asal jeplak dan trust me bro. Makanya ada skripsi. Kalau tidak mau diciptakan sebagai makhluk yang akademis, maka pilihlah vokasi. 

"TERUS GIMANA, DONG? SEKARANG AJA DEMAND DUNIA KERJA BUTUHNYA SARJANA, BUKAN VOKASI BAHKAN LULUSAN SMA AJA!"

Sebenarnya, apabila di rata-rata keseluruhan negara, kita itu tidak kebanyakan orang lulusan S1. Masih kurang, sangat kurang meskipun banyak lulusan S1 yang tidak ada bedanya dengan lulusan SMA. Lantas, kenapa masih banyak lulusan S1 yang susah cari kerja? Karena memang lowongan untuk S1 itu sedikit, sangat sedikit. Ditambah, sedikitnya lowongan kerja ini, perusahaan nemunya orang-orang tidak jelas yang tidak bisa apa-apa, namun gelarnya sarjana. Mau direkrut, takutnya malah jadi beban, tidak direkrut tapi ya butuh karyawan.

Bisa jadi, kita sebenarnya terkena bias karena lowongan di Jobstreet, LinkedIn, Kalibrr, dan job portal lain kebanyakan kerja kantoran di perusahaan formal. Padahal, ketika saya membaca jurnal atau skripsi mahasiswa yang mengangkat tema UMKM, hampir semuanya mengatakan "sektor yang berkontribusi terbesar pada perekonomian negara bukanlah perusahaan atau korporasi besar, melainkan sektor UMKM". Bisa jadi, di luar sana banyak UMKM yang membutuhkan banyak pekerja. Jangankan harus lulusan SMA, dapat orang yang baik dan jujur aja sudah syukur banget.

Tetapi, UMKM sekarang pun juga banyak yang syarat minimal harus S1 dan trennya sudah ke situ.
Disinilah peran pentingnya regulasi pemerintah. Pentingnya menekan agar lowongan kerja ke skill yang spesifik dengan requirement tertentu, tidak harus lulusan S1. Karena jika saya mengamati, banyak banget pekerjaan yang sebenarnya skill based. Hal ini yang membuat mengapa kelas-kelas bootcamp sangat menjamur. 

Itulah mengapa saya mengatakan, lulusan sarjana itu harusnya bersifat akademis, sedangkan pekerjaan kebanyakan skill based, hanya memerlukan satu skill tertentu. Sarjana itu diciptakan untuk melihat fundamental dari kondisi secara lebih luas dan general; berbagai orang skill based. Jika seorang sarjana untuk direkrut menjadi orang yang ngurus pembukuan aja, lebih baik rekrutlah orang lulusan vokasi, kecuali jika pemberi kerja membutuhkan seorang yang bisa ngurus lebih dari satu orang vokasi yang ngurus pembukuan. Tetapi kenyataannya? Sarjana tidak punya skill bagaimana mau mengurus hal yang bersifat fundamental? 


"JADI, BAGAIMANA AGAR KITA MENJADI NEGARA YANG MAJU?"

Di dunia ini, ada sekitar 200 negara. Dari 200 negara tersebut, Indonesia sempat menjadi negara termiskin nomer 4. Bayangin aja jadi negara termiskin nomer 4 di dunia. Tetapi, pada tahun 2022, Indonesia menjadi nomer 73 negara termiskin di dunia. Ini sudah cukup bagus menurut saya.

Namun, sayangnya kita itu sering berhalusinasi dengan membandingkan negara kita dengan negara lain yang urutan 10 besar negara terkaya. Ya jelas kalah. Padahal sudah jelas sekali bahwa ada lebih dari 100 negara yang lebih kaya dibandingkan kita.
Jadi, kalau mau membanding-bandingkan negara, bandingkanlah dengan yang satu level.

Itu dulu yang pertama.
Lalu yang kedua, saya sangat setuju jika pendidikan merupakan pilar termanjur untuk menjadi negara yang maju. Namun, investasi di pendidikan dengan sistem yang sangat bobrok pun nantinya akan jadi investasi bodong. Saya mengatakan sistem pendidikan bobrok itu bukan dari lembaga pendidikannya, tetapi lebih ke orang-orangnya. Karena saya, kalian, dan kita semua pun juga merupakan bagian dari sistem pendidikan. Saya pernah membahasnya di sini.

Sekarang, kalau mau pendidikan dibikin murah, pemerintah udah jor-joran bantu lembaga pendidikan agar semua orang dapat mencapai perguruan tinggi. Lah tapi, ada oknum yang cukup brengsek ngomong "udahlah, kuliah yang penting lulus dan dapet ijazah". Bahkan juga banyak orang tua yang memiliki pemikiran seperti itu. Apa akibatnya? Terciptalah orang yang bergelar tapi tidak punya skill. Maka pantas jika banyak yang jadi NEET (Not in Education, Employment, and Training).
 
Jadi, jika kalian mau pemerintah benar-benar fokus pada pendidikan, maka pastikan juga bahwa kita semua tidak ada yang memiliki pemikiran bahwa pendidikan itu hanya mencari ijazah. Semua orang ingin negara kita maju, tapi anehnya, tidak semua orang ingin memulainya.

Bagi saya, sekolah pada tingkatan primer (SD - SMP) dan sekunder (SMA) itu sudah cukup menjadi bekal hidup. Kita itu masih bingung mau ke arah padat karya atau padat modal, dan sejauh ini, usaha dengan padat karya masih lebih banyak di Indonesia dibandingkan padat modal. Apabila menginginkan ke pendidikan tinggi, maka sejatinya saya lebih setuju jika diisi oleh orang-orang yang memang niat dan ingin gaining skill, bukan yang penting asal dapat ijazah dan perkuliahan di isi dengan joki tugas maupun joki skripsi. Hal kayak gini juga yang bikin kebanyakan lulusan S1 menjadi syarat minimum di perusahaan formal.
Selama mindset tentang pendidikan masih salah kaprah, selama itu pula saya masih setuju bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier.

Salam!


43 Komentar

  1. Mencerdaskan kehidupan bangsa masih jadi amanat UUD 45, cuma makin kesini pemerintah lebih ke udah lempar aja ke pasar sih, kalau UKT tinggi beban terberat ada di civitas akademika, bukan pemerintah lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena pendidikan enggak populis dari sisi politik. Jabatan di Indo itu mentok 2 periode (10 tahun), sedangkan hasil dari pendidikan itu paling cepet 20 tahun. Ah, masa pas sini menjabat kebagian susahnya doang, nanti yang menikmati hasilnya malah orang yang menjabat selanjutnya?!

      Hapus
  2. Baik, saya simpan tulisan ini di kepala saya. Saya boleh menyimpang ke persoalan lain? Belum masalah pendidikan yang banyak melahirkan 'sampah akademik', lulusannya juga banyak yang kemudian tidak sesuai tujuan pendidikan tinggi itu sendiri. Kebanyakan kaum perempuan. (Semoga tidak ada yang marah2 dgn ungkapan ini, karena kenyataan begitu kok)

    Sudah capek2 sekolah sarjana, sampai S2, udah gitu disubsidi pemerintah, tenaga dan waktu yang digunakan juga tidak sebentar. Setelah lulus atau kerja setahun dua tahun, disuruh resign atau kesepakatan dgn pasangannya untuk total jadi ibu rumah tangga.

    Ini ngambil dari sudut pandang tulisan kakak di atas ya. Nggak kita kaitkan dengan agama atau peran perempuan secara umum.

    Jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan juga banyak. Sekolah sampai sarjana, bahkan pascasarjana, lalu jadi IRT. Gak ada kontribusi sama sekali untuk lingkungan atau UMKM. Itu banyak yang begitu.

    Makanya, mungkin, ini mungkin loh ya, negara maju seperti Jepang dan lainnya banyak memilih child free atau bahkan tidak menikah sama sekali. Mengapa? Karena dengan ada rumah tangga dan anak, umumnya perempuanlah yang harus melepaskan perannya di masyarakat atau karir.

    Kalau laki-laki yang melepas karir, rasanya di negara kita ini masih kurang pantas.

    Ini masalah lain dari yang kakak bahas di atas, bukan "sampah akademik" tapi cetakan dari biaya mahal dan sumber daya akademik sendiri banyak yang tidak berfungsi pada jalurnya, yaitu kaum perempuan berpendidikan tinggi yang tidak bekerja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini kasus yang menarik dan saya juga sering menjumpai masalah seperti ini. Kalau dalam pengamatan saya selama ini, perempuan yang sekolah tinggi-tinggi namun kepentok harus ngurus rumah setelah menikah, biasanya, biasanya nihh, karena dari si laki-laki juga yang gampang insecure.

      Di sini itu, banyak sekali laki-laki yang gampang banget insecure. Penginnya perempuan itu di rumah aja ngurus anak, padahal tanggungan rumah tangga itu justru (setahu saya) juga menjadi bagian dari tanggung jawab suami, bukan ke istri. Mengapa demikian? Ya karena di rumah itu ga ada jenjang karir. Peluang untuk "dikalahkan" istri semakin sedikit dan laki-laki bisa menjadi lebih superior dan overpower.
      Entahlah siapa yang memulai ini dan bagaimana cara mengatasinya, saya masih kurang tahu.

      Hapus
  3. Saya sebagai seorang ibu, agak resah dengan sistem pendidikan saat ini, bukan apanya sih, soalnya kalau aku liat kurikulum sekolah itu kek cuma menciptakan babu pekerja industri aja gitu,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau untuk jenjang SD hingga SMA, saya setuju untuk lebih baik dicetak sebagai babu pekerja industri. Secara umum, ini secara umum lho ya, apa yang kita harapkan dari orang lulusan SD-SMA di dunia kerja? Ya jelas jadi buruh industri, kan? Apa lagi?

      Meskipun industri sekarang menuju transformasi ke mesin dan digital, tetapi kan kita tetap butuh tenaga kasar, kan? Siapa yang mau nganter paket onlinemu kalau tidak ada kang paket?

      Hapus
  4. Pendidikan tersier merupakan jenjang pendidikan yang penting untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan peluang kerja. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus belajar dan mengembangkan diri agar dapat mencapai cita-cita. Tapi kembali lagi ya, tujuan hidupnya apa hehehe kalau ingin sampai pasti mati matian berusaha

    BalasHapus
  5. Banyak sekali hal yang dibahas disini dan ya saya setuju, pendidikan tinggi itu tersier, saat ini Indonesia masih berkembang dan banyak hal yang harus dibiayai, sekarang harusnya masyarakat bisa berusaha untuk mengarahkan anaknya agar bisa lebih bermanfaat

    BalasHapus
  6. Saya sependapat dengan isi artikel ini. Mungkin sedikit OOT , jika ada yang berteriak ingin free biaya kuliah, blablabla, saya tuh malah ngeriii.Bayar mahal saja banyak mahasiswa kurang motivasi belajar, kok.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget. Di daerah saya masih banyak dijumpai anak-anak pada males-malesan sekolah, bahkan membolos karena mereka tidak rugi material sama sekali. Sekolah sekarang yang gratis juga ngasih dampak ke anak-anak yang bikin mereka jadi meremehkan. Makanya, lebih baik sekolah gratis itu dikasih untuk orang yang emang niat sekolah aja.

      Hapus
  7. Selama ini muncul mitos jika ingin meningkatkan kesejahteraan maka tingkatkan pendidikan. Mitos itu mendorong orang-orang semua ingin kuliah. Padahal pendidikan tinggi itu gak wajib, tidak termasuk dikdas, karena pemerintah sudah menetapkan kewajiban pendidikan itu sampai SMA saja, 12 tahun. Jadi memang betul pendidikan tinggi itu kebutuhan tersier. Hanya mitos itu yang memengaruhi orang untuk masuk ke perguruan tinggi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya itu bukanlah mitos. "Jika memang ingin meningkatkan kesejahteraan maka tingkatkan juga pendidikan." itu sudah benar menurut saya. Masalahnya, kalimat barusan diganti menjadi "Jika memang ingin meningkatkan kesejahteraan maka tingkatkan juga ijazah terakhirnya". Hal tersebut yang menjadi fokus orang sekarang buat lebih mengejar ijazah ketimbang output/outcome menjadi "ahli". Padahal harusnya, ijazah itu jadikanlah bonus dari segi administratif.

      Hapus
  8. Woahhh tulisannya daging banget! Ini nih yang kalau bisa jangan sampai ada lagi yang kuliah asal dapat ijazah dan perkuliahan di isi dengan joki tugas maupun joki skripsi. Semoga pendidikan di Indonesia lebih baik dan semakin baik deh ✨

    BalasHapus
  9. Mungkin agak oot. Tapi gak usah jauh jauh sama jepang, sama negara tetangga seperti thailand atau malaysia aja sistem pendidikan kita bisa dibilang tertinggal, mereka lebih profesional baik itu sistemnya maupun manusianya. Saya sebagai lulusan dari kampus swasta pun agak miris karena selama kuliah masih banyak oknum pengajar yang tidak memberikan pendidikan sesuai porsinya (entah di kampus saya aja atau kampus lainnya juga merasakan).. yah intinya sistem pendidikan kita masih terbelakang, tenaga pendidik juga harus lebih profesional lagi, karena motivasi belajar itu sebagian besar datang/muncul dari mereka. Kita disuruh bayar mahal sedangkan merekanya aja males-malesan ngajar. Jadi bisa disimpulkan sendiri deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yahh memang kompleks banget sih masalah di sini. Terkait tenaga pendidik kenapa terkesan males-malesan juga ada latar belakangnya, yakni tuntutan pekerjaan yang sangat tinggi, mana mulai ditekankan untuk S3 pula untuk kualifikasi tenaga pendidik sekarang, belum administrasi yang sangat menumpuk, namun gaji yang didapatkan tidak sebanding dengan beban setinggi itu. Pantaslah mereka mencari side hustle yang membuat mereka harus mengorbankan jam mengajarnya.

      Hapus
  10. Saya pernah tinggal di Amerika. Memang benar di sana wajib belajar itu dari level Kindergarten-grade 12. Jadi pelajar menempuh Elementary School 6 tahun (grade K-grade 5), Middle School (grade 6-8) dan High School (9-12) atau total 13 tahun, lulusannya setingkat Diploma 1. Bagusnya, sekolah negeri (public school) disediakan sesuai kebutuhan. Jadi misalnya di zonasi itu butuhnya 5 kelas (untuk 125 anak perkelas maks 25) ya pemerintah menyediakan di sekolah yang ada sejumlah kelas beserta fasilitas.
    Nah, menurut saya daripada ngurusin UKT terjangkau atau bahkan free, lebih baik menyediakan sekolah negeri (kalau bisa hingga SMA) yang cukup untuk semua.
    Kalau kini wajib belajar baru 9 tahun, bisa ditingkatkan jadi 12 tahun, semua ditanggung pemerintah. Yang sekolah di swasta hanya yang punya biaya lebih (seperti di Amerika sekolah swasta = mahal = untuk orang kaya). Sehingga semua anak bangsa dari pendidikan dasar-menengah semua mendapatkan hak pendidikannya
    Tidak seperti sekarang, seperti di Jakarta kalau enggak masuk negeri, terpaksa masuk ke sekolah swasta, yang biayanya bagi yang tidak mampu bikin pusing kepala ortunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Tak perlu mengurusi perguruan tinggi sebegitunya, biarkan saja ada UKT. Toh SD - SMA kita belum sepenuhnya beres. Bukankah yang penting justru fase-fase ini?

      Atau kalau memang mau mengurusi perguruan tinggi padahal dana pendidikan tidak cukup, bikin saja banyak regulasi kerjasama dengan swasta untuk lebih mengeluarkan beasiswa, misal dana CSR. Daripada untuk menanam pohon atau bagi-bagi sembako lalu tidak dirawat, toh lebih baik buat beasiswa saja, nanti mahasiswa awardee disuruh untuk membuat campaign menanam pohon atau kepentingan sosial lain. Sama aja kan? Malah dapat manfaat ganda.

      Jadi orang yang emang mau kuliah "murah" adalah orang-orang yang memang beneran niat.

      Hapus
  11. Terus membandingkan negara sendiri dengan negara orang membuat kita seperti nggak maju-maju. Padahal, dari peringkat 4 termiskin jadi peringkat 73 tuh sudah pencapaian tersendiri. Dengan catatan datanya benar dan bukan "menyembunyikan angka kemiskinan riil".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mau dihitung-hitung secara riil, definisi perasaan "kemiskinan" justru bisa jadi bukan peringkat 73, tetapi lebih di atasnya lagi. Banyak negara, terutama yang hidup di 4 musim, atau yang lebih ekstrim di benua Afrika, justru lebih merasakan arti dari "kemiskinan".

      Terlepas dari legal/tidaknya, semiskin-miskinnya di Indonesia itu masih bisa melakukan cheating, masih bisa hidup di belantaran sungai, hutan, bawah jembatan. Buat makan? Tanam aja singkong. Bahkan kalau memang mau hidup di hutan itu sudah cukup bisa survive sampai anak cucu. Kita tidak semematikan itu dalam bab perasaan "kemiskinan". Beda dengan negara yang hidup di 4 musim, sekali miskin dan bersamaan dengan musim dingin, maka tidak ada yang terjadi kecuali mati kedinginan.

      Hapus
  12. Rumit banget ya masalah pendidikan ini ternyata. Apa karena jumlah penduduk kita yang banyak. Pendidikan gratis sampe SMA juga rasanya kayak nggak begitu berkualitas. Gimana sekolah² di pedalaman yang gurunya honor. Sebulan dibayar 100k. Duh rumit.

    BalasHapus
  13. Wah, bagus dan komprehensif sekali Kak tulisannya. Betul, memang nyatanya negara kita masih banyak yang perlu dibereskan terlebih dahulu. Bukan berarti pendidikan tinggi tak penting, tapi nyatanya urusan dasar seperti sandang, pangan, papan saja masih banyak yang menjadi PR kita semua. Tapi tetap harapannya tentu kita ingin agar pendidikan kita bisa terus bertambah kualitasnya ya. Bukan sekadar tempat berburu ijazah.

    BalasHapus
  14. Sedih dengar berita pendidikan tinggi makin tak terakses secara merata
    Kalau begini, makin susah Indonesia memiliki sdm unggul ya

    BalasHapus
  15. Jadi inget kemarin ada yang koar-koar pas kampanye kalau biaya pendidikan, termasuk di perguruan tinggi harus gratis. Kalau iya bisa terealisasikan kaya kuliah di Jerman salut banget sih. Let's see, atau hanya jadi pepesan kosong saja

    BalasHapus
  16. Sedih ya mbak masalah UKT yang semakin naik memang menjadi momok yang cukup berat bagi orang tua yang ingin memberikan pendidikan yang cukup buat anak-anaknya.

    BalasHapus
  17. mikirin biaya pendidikan di Indonesia sekarang asli bikin pusing dan kepikiran anak bakal bisa kuliah nggak ya. dan memang ada pro kontra ya terkait pendidikan tinggi bersifat tersier ini tapi kalau menurut saya memang bagusnya kita dari pendidikan dasarnya yang diperbaiki kualitasnya dulu dan pastinya ini juga dinasnya juga harus dibenahi terutama dalam mensejahterakan para guru

    BalasHapus
  18. kalo aku sih gak mau ngarep biaya kuliah digratisin pemerintah, karena program kita kan wajib belajarnya memang sampai SMA, tapi kalau bisa jangan dimahalin juga. soalnya ini jadi bola api buat masyarakat menengah. kalau gak kuliah, gak bisa memperbaiki taraf hidup dan ekonomi keluarga, tapi kalau kuliah biayanya mahal dan jadi susah bahkan banyak yg ngutang. huhu dilema. apalagi syarat kerja udah tinggi banget kualifikasinya

    BalasHapus
  19. Kebanyakan netizen sekarang kemakan judul berita tanpa memahami dan mendalami isinya. Tulisan ini bentuk partisipasi warga negara yang baik dalam hal merenspons permasalahan UKT pendidikan di negeri ini.

    Soal skill based, saya sepakat sekali. Ada banyak pekerjaan yang memang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki skill tertentu bukan soal tingkat pendidikan. Semisal programmer. Selama ia mampu membuat program, ya bisa dipekerjakan.

    Tapi pengalaman saya, memang perusahaan membedakan programmer yang pendidikannya SMA (mungkin belajar programmingnya otodidak) dengan yang lulusan S1 Informatika, soal gaji dan juga jenjang karir.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, ada dan banyak perusahaan yang memang membedakan berdasarkan latar belakang pendidikan. Tetapi yahh perusahaan pasti merekrut yang memang memiliki quality selayaknya lulusan sarjana.

      Hapus
  20. Untuk masuk Perguruan tinggi di Indonesia kan juga kompetisinya tinggi. Jadi yang bisa masuk adalah anak anak yang memang pandai dan pilihan. Nah kalau mereka memang cerdas dan serius untuk menuntut ilmu tapi gak bisa kuliah karena UKT tinggi bagaimana? Kan kasian, bisa depresi anak itu. Jangan mengeneralisasi kalo UKT rendah atau bahkan gratis siswa jadi gak serius belajar. Banyak kok yang serius untuk menuntut ilmu. Yg sekolah diluar negeri gratis apakah semua jadi gak serius belajarnya? Kan tidak bgtu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Poin dari tulisan saya adalah saya tidak setuju UKT digratiskan, pun dimurahkan, kecuali kalau ada mahasiswa yang memang beneran niat belajar. Untuk mencapai perguruan tinggi tingkat sarjana perlu ada seleksi yang lebih ketat. Kenapa? Karena dana pendidikan negara itu terbatas, maka haruslah dialokasikan buat yang niat-niat aja. Kalau untuk general semua orang, jelas sangat tidak baik dampaknya untuk model perilaku masyarakat kita. Memang banyak yang serius menuntut ilmu, tetapi setahu saya jika dibandingkan dengan yang tidak serius....eehhmm masih jauh deh~

      Terus yang gak niat kuliah gimana? Kalau dia sudah dibekali SD - SMA dengan pendidikan yang baik, pun sebenarnya dia harusnya udah cukup untuk survive hidup. Atau semisal memang mau kuliah tapi tidak mau menjadi seorang fundamentalis, ambillah vokasi, tidak perlu sampai sarjana, daripada udah sarjana, investasi tenaga waktu dan uang, dipermudah negara, eh,... males-malesan. Kan jadi investasi bodong namanya

      Hapus
  21. Indonesia yang mindsetnya masih begini kadang pekewuh, tapi saya masih setuju UKT jangan mahal-mahal amat. tetapi memang betul, saya perhatiin banyak kok freshgradute sarjana kalau masuk dunia kerja ya terkesan nggak bisa apa-apa. Karena salah satu alasannya, terkadang jurusanya tidak linier, bahkan ketika jurusannya linierpun, dunia kerja tetap berbeda. Apapun masalahnya, karena saya bisanyamenyelesaian urusan dalam rumah tangga saya, ya doanya semoga Allah cukupkan dan berkahi anak-anak yang menempuh pendidikan tinggi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya kita tidak perlu menuntut seseorang untuk berprestasi, pun harus bisa segala hal. Tidak perlu sampai itu.
      Cukup seseorang menghargai orang lain; termasuk waktunya, tenaganya, kebaikannya. Cukup seseorang untuk bertanggungjawab terhadap apa yang dia emban; kerjaan, tugas kuliah, dsb.
      Cukup seseorang untuk menjadi pribadi yang jujur.
      Sudah itu saja. Kalau budaya kita sudah seperti ini, maka saya akan jadi setuju banget jika akses ke perguruan tinggi dipermudah.

      Hapus
  22. miris banget sih ya, makin ke sini pendidikan jadi susah untuk dijangkau, jangankan perguruan tinggi, laah pendidikan dasar saja sebenarnya masih banyak yang mahal kok.

    Iyah, statusnya memang bukan negeri atau milik pemerintah, tapi nyatanya orang tua masih berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak-anak mereka di tempat yang mahal tadi karena harapan orang tua, anak-anaknya bisa sekolah tinggi, masuk ke perguruan tinggi yang sayangnya UKTnya semakin tinggi mau saingan dengan langit kayaknya sih, padahal banyak lho yang seriusan ingin sekolah.

    BalasHapus
  23. Miris banget sih dengan kondisi pendidikan saat ini, UKT Mahasiswa yang naiknya kebangetan ini akan ditunda, bukan dibatalkan. Gak kebayang biaya kuliah anak-anak generasi kita sekarang mahalnya kayak apa.

    BalasHapus
  24. "Selama mindset tentang pendidikan masih salah kaprah, selama itu pula saya masih setuju bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier."

    Setujuuu baget sama kalimat ini. Mau ikutan bikin konten semacam ini, tapi jujur rada anu sih saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kak Pipiiiiiiittt!
      bikin saja laaaa, aku tunggu beneran lho inii :D

      Hapus
  25. Kalau aku sih setuju sekali karna emang kenyataan kalau biaya pendidikan smpai kuliah tuh mahal makanyaa sedini mungkin harua dipersiapkan untuk biaya pendidikan anak2 supaya gak keteteran saat anak mulai kuliah

    BalasHapus
  26. Saya membaca beberapa artikel berita terkait masalah UKT yang naik. Memang respon Sekjen Kemendikbud benar, pendidkan tinggi itu sifatnya tersier atau opsional. Tapi respon beliau ini, saya rasa tidak sesuai tempatnya, karena pada saat itu masyarakat sedang protes UKT naik. Alih-alih membuat tenang masyarakat, malah membuat gaduh. Ya, jadi santapan lezat media untuk bikin headline bombastis. Saya rasa, kemampuan komunikasi publik pemerintah ini, rada kurang. Remotivi pernah membahasnya. Memang benar juga kalau orang yang menempuh sekolah tinggi belum tentu berpendidikan. Tapi bukan jaminan pula orang yang gak sekolah tinggi itu berpendidikan. Harus ada sinergi dari orang tua, individu yang mau pendidikan dan pemerintah. Gak bisa mengandalkan 1 pihak saja. Investasi dalam pendidikan itu penting, tetapi memang harus sejalan dengan investasi ekonomi. Menurut saya, tidak boleh timpang sebelah.

    BalasHapus
  27. Mayoritas orang butuh ijazah bukan pendidikan ini aku temui zaman kuliah, teman yang asal2 kuliah aja jadi pejabat sekarang. Tapi, apa pun itu tetap butuh kuliah karena dengan kuliah ini banyak yang kita dapatkan. Mulai dari pendidikan, pengalaman hingga relasi.

    BalasHapus
  28. Kalau menurut saya pendidikan apapun tingkatannya itu sifatnya primer. sedangkan tempat mendapatkannya nggak harus lewat lembaga pendidikan konvesional seperti universitas. apalagi zaman serba online, kita bisa cari ilmu dari mana saja, mulai kelas virtual, kelas magang atau kelas praktik langsung dengan menggerakkan UMKM. kalau kita mengotakkan pendidikan hanya pada lembaga formal nanti ya betul yang didapat hanya izajah, bukan ketrampilan, sementara untuk bekerja kita butuh ketrampilan

    BalasHapus
  29. Memang tersier dan ga harus universitas favorit yang UKT-nya melejit. Saya termasuk yg suka nonton konten tentang harga almamater. Ga pakai mikir karena untuk hiburan. Awalnya terkaget-kaget karena saya masuk kuliah dengan biaya awal 515 ribu, all in. UKT-nya 165k/semester. Zaman kapan itu. Wkwkwk.
    Yg jelas sih zaman anaknya buruh tani dan buruh bangunan bisa mengkuliahkan anaknya. Saya sendiri anak penjual rokok di jalan. Saya setengah berharap agar UKT diturunkan karena anak mbarep saya memasuki usia kuliah tahun ini.

    BalasHapus
  30. Permasalahan ini agak pelik menurut saya karena memang ada faktor sosio-ekonomi-kultur yg membentuknya. Selain itu, yg membuat negara maju bukan hanya faktor lulusan sekolah mana atau lulusan sarjana apa atau berapa banyak gelar S yg disandang, tapi apakah kualitas dari lulusan ini sudah sesuai dengan kualitas apa tidak. Saya rasa percuma punya banyak lulusan, sementara kualitas tetap kurang. ❤️❤️

    BalasHapus

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia
Gopaylater Ads