Cultural Fit: Sebuah Konsep yang Jujurly Bikin Saya Pengen Arrrrrrggggghhh
Halo semuanya!
Pernah pada suatu hari, di daerah *tiiiittt* ada berita mengenai pejabat daerah yang mau dikandangin gegara menerima suap dari rekrutmen guru honorer sebanyak lebih dari 20 orang, dan setiap orang menyuap 10-jutaan tergantung nempatin sekolah mana. Demi kerja dan dapet gaji yang gak nyampe UMR.
(guru)
(honorer)
(nyuap)
Gara-gara pejabat daerah ini mau dikandangin, ketahuanlah "kriminalitas" lain yang ternyata menerima suap juga dari rekrutmen nakes-nakes yang lebih ajaib besaran per orangnya, bisa 20an juta untuk gaji yang juga tidak UMR-UMR amat.
[[ada orang]]
[[nyuap]]
[[buat dapet kerja]]
[[yang gajinya ga UMR amat]]
Secara pribadi, saya tidak ada masalah dengan pejabat daerah yang mau dikandangin. Sekalian aja kandangin ke Taman Solo Safari bersama macan kumbang. Tapi.... guru dan nakes nyogok buat jadi pegawe honorer itu jadi konsep yang cukup ajaib menurutku. Sangat absurd kayak....
"BJIIIIIRRRRR ORANG GILA MACAM MANA YANG BAYAR DEMI GAJI UNDERPAID??????"
Fenomena ini cukup menampar saya. Saya pun jadi memaklumi fenomena guru dan nakes yang nyogok demi gaji underpaid. Kenapa? Yahh karena yang mau masuk situ juga banyak. Lulusan keguruan dan kesehatan itu udah kayak semut yang mau pindahan sarang sambil bawa telur, bedanya, orang-orang ini bawa ijazah, lontang-lantung nyari kerjaan, gakpapa meskipun dibayar underpaid, udah bersyukur banget dapet kerja.
Dulu, saya mikirnya "Wah di Australia Utara ini emang dikit banget ya lowongan kerjaan? Perasaan di portal-portal pencarian kerja banyak tuh? Atau lulusan di negeri ini terlalu banyak ya?"
Sampai saya menyimpulkan bahwa alasan kenapa banyak orang susah nyari kerja karena mereka tidak punya skill yang dibutuhkan perusahaan.
Tetapi....
Saya semakin menyadari dan semakin pusing tatkala melihat fenomena yang lebih ajaib lagi; "ada orang yang bego, tapi gampang juga diterima di perusahaan, bahkan top level company, sedangkan banyak juga orang yang dia sebenarnya punya skill yang bagus, tetapi masuk administrasi top level company aja kaga."
Alhasil, saya mencari jawabannya melalui buku Pedigree: How Elite Students Get Elite Jobs.
"AAARRRRRRGGGGGGHHHHHHHHH SIALAAAAAANNNNN"
Kayakk..... "kenapa gueeehhh baru menyadari sekaranggggg?"
Saya akan menceritakan hasil dari penggabungan atas review saya dari buku ini dan pengamatan fenomena nyata yang saya ketahui dari mengamati atau diceritain, bahkan mengalami sendiri.
Di dunia kerja, teori signaling itu nyata banget. Apa itu teori signalling?
Singkatnya, teori signaling itu pada konteks rekrutmen company adalah "sesuatu" yang melekat pada diri calon karyawan yang bikin HR gak perlu crosscheck lagi karena kemungkinan dia sesuai dengan persepsi umum.
Masih bingung?
Begini contohnya: ketika ada dua orang yang melamar pekerjaan di perusahaan XX, satunya lulusan kampus top internasyenel dan yang satu lulusan kampus yang bikin first impression orang bilang "kampus ngendi kui? (kampus mana itu?)". Dari sini, kalau kalian yang jadi HRDnya, kalian pilih mana? Ya sudah auto pilih yang lulusan kampus top internasyenel itu kan? Kenapa gitu? Padahal belum tentu lulusan kampus gurem lebih bego ketimbang lulusan kampus top internasyenel, padahal bisa jadi lebih rajin atau attitudenya lebih baik.
Tapi, HRD tetep pilih kampus top internasyenel kan? Ya karena teori signalling itu. Lulusan kampus top internasyenel memiliki kemungkinan lebih besar punya skill yang dibutuhkan perusahaan. Daaaannn.... lebih dari sekedar skill adalah ✨CULTURAL FIT✨.
Hah apa lagi itu? Jadi, cultural fit ini merupakan hal yang lebih absurd lagi ketimbang sekedar skill, alias kalau lulusan kampus top internasyenel, kemungkinan dia berasal dari keluarga berduit, berarti hobinya pasti sekitaran hobi-hobi orkay lah, misal main road bike, nonton konser artis luar, bowling, dan sebagainya. Sangat kecil kemungkinan lulusan kampus top level itu hobinya mancing di kolam pemancingan, minimal kalau mancing ya di laut atau di rawa yang harus nyewa perahu mesin dan ada buayanya. Yang kalau habis dapet ikan langsung tereak "MANCIINGGG MANIAAAAA" habis itu ikannya dilepas lagi (karena pulangnya makan ikan di resto).
Perusahaan yang bagus itu diisi oleh orang-orang seperti ini, yang sejalan dengan culturalnya mereka. Hal ini jadi semakin masuk akal buat meminimalisir terjadinya gap sosial. Ya kali waktu ada gathering team, yang lain main ke Singapur kamunya ke Condong Catur, kan gak banget?? Atau ketika malam tahun baru, orang-orang janjian pada bebakaran seafood di Raja Ampat, kamunya di teras rumah doang. Orang-orang yang menghindari gathering team seperti ini karena alasan ekonomi atau perbedaan budaya, bikin tim perusahaan jadi kurang akrab. Padahal, perusahaan itu bekerja secara tim, bukan individual.
Hal ini jadi semakin meyakinkan saya bahwa kenapa skill itu menjadi lebih bias dan gak penting-penting amat, karena yang terpenting itu apakah kamu secara cultural itu fit enggak dengan company. Makanya, perusahaan top level itu ketika di sesi interview, kebanyakan ditanyain:
Hobimu apa?
Alat musik apa yang kamu bisa mainin?
Apa yang kamu lakuin pas weekend?
Boleh engga lihat instagram kamu?
Suka pelihara hewan apa?
Pertanyaan-pertanyaan absurd gini bukan untuk
"Wah suka melihara monyet bjir ini pasti nanti sering telat masuk kantor karena sarapannya dimakan monyet mulu"
Tetapi lebih ke
"Kira-kira kalau saya masukin orang ini ke tim, ngeblend gak ya sama anak-anak? Kalau diajakin nonton bisa gak ya seleranya sama? Nyambung gak ya kalau ngomong nanti? Jangan-jangan pas ngobrol malah nawarin obat diabetes lagi. Wah, dia suka kucing nih.. kayaknya bisa sih masuk ke tim soalnya anak-anak juga pada suka kucing."
F*ck meritokrasi, pada kenyataannya orang-orang itu memang menyamakan latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi. Karena secara tidak langsung, kita semua pun juga begitu kalau di dunia kerja. Ingat, di dunia kerja bukan di dunia depan rumah.
Saya menyadari bahwa saya juga pernah melakukan serupa. Kayak, kalian pernah gak sih tiba-tiba kesel banget sama orang itu padahal dia gak salah apa-apa? Kayak kesel aja dari cara ngomong dan perilakunya, padahal enggak salah. Kalau ngomong enggak nyambung, pick-me, atau auranya tuh ngeselin aja. Seolah-olah gak cocok untuk 'puzzle' di tubuh kita. Nah orang-orang seperti ini bikin tim kurang akur, alhasil biasanya gak bakal keterima di perusahaan meskipun sebagus apapun skill mereka.
Pernah juga ada orang yang menurutku dia sangat jago accounting, bahkan sumber bacaannya banyak, cuma memang lulusan kampus biasa aja dan dari latar belakang yang biasa juga. Lamar di perusahaan topcer dan dikontrak 3 bulan untuk gantiin karyawannya yang lagi cuti hamil.
Orang ini bilang
"Andai gue dilanjut kontraknya pun, gue mau! Enak banget kerja di sini. Gue selalu bisa ngerjain apapun tugas yang dikasih boss"
Tetapi akhirnya? Orang itu tetap gak lanjut. Gak dapet kesempatan buat lebih lama di perusahaan itu. Padahal tidak ada skill issue sama sekali, bahkan selalu wondering gitu. Selalu melebihi ekspektasi malahan. Tetapi kembali lagi; karena tidak sesuai dengan culturalnya; yang dalam hal ini bukan culture perusahaan, melainkan cultural karyawan perusahaan itu.
Itulah kenapa, banyak banget kerjaan ringan di perusahaan top yang tidak diisi oleh orang orang standar, pasti orang-orangnya ya yang selevel sama mereka, minimal bokap nyokapnya jadi pemegang saham mayoritas salah satu perusahaan publik lah. Atau kalau anaknya yang emang otaknya b aja dan kudu kuliah di kampus swasta Jakarta yang b aja juga, minimal ada highlight story di Instagram yang dikasih judul "Singapore 🇸🇬, Aussyy 🇦🇺, Japan 🇯🇵, Korea 🇰🇷, Swiss 🇨🇭". Atau bahkan lebih joss lagi, ada bio bertuliskan "look at my path @pictjourney" yang isi sec account gak relate buat orang-orang kalau akhir tahun mentok ke Gunung Kidul.
Saya punya seorang teman yang dia sebenarnya gak jago-jago amat, lulusan kampus b aja, bahkan orang-orang Jakarta pun jarang yang tau kampus ini. Cuma memang kemungkinan dia bisa keterima SBMPTNnya di sini, jadi yasudah dilakoni sampai lulus. Tapi, kayaknya dia doang deh yang bisa masuk top company yang multinasional banget. Padahal orang lain yang lebih jago dari dia itu lebih banyak, cuma memang kebetulan temenku dari kalangan orang berada yang tiap pulang ke Jakarta pun naiknya Garuda Indonesia. Padahal masih di Jawa.
Yang ternyata... Banyak banget temenku yang modelannya gini, kebanyakan emang berasal dari Jakarta, yang keluar-masuk gedung bertingkat itu udah kayak keluar masuk kamar mandi. Mendapatkan fasilitas layaknya smart city juga udah menjadi hal yang sangat normal, bahkan ketika main di Jogja ngeliat jajanan diborong abis sambil bilang "GILAAAK, DI SINI MURAAAH BANGEEETT??"
Orang-orang seperti ini kebanyakan habis lulus ya langsung keterima di top level company, sedangkan temenku yang lain, yang berasal dari antah berantah, yang naik lift aja kudu liat tutorial yutub, banting harga diri masuk top level company tetap gak kesampean, ujung-ujungnya kerja di workplace ajaib yang kantornya aja nyewa ruko sebelahan sama kantor MLM, yang ketika rapat rutin hari Senin/Jumat, bossnya bilang
"Kas kita tinggal nipis nihh, cuma sisa sekian juta doang. Kayaknya cuma bisa survive buat 3 bulan doang ini mah"
Aku kalau denger kayak gitu juga bakal:
"WOYY YANG BENER AJA LO?"
Orang-orang yang terjebak di keadaan seperti ini ya cuma bisa syukur aja, bossnya juga syukur dapet karyawan, karyawan gak resign aja udah bikin si boss rajin tahajud itu.
Terus apa solusinya?
Sudah tau kan kenapa CPNS itu jadi profesi yang paling buanyak dilamar? Karena CPNS itu profesi sejuta umat. Mau lulusan dari kampus yang berdiri di kolong jembatan pun tetep diterima sama CPNS meskipun di posisi tertentu doang. Kerjaannya juga simple, gak butuh hal-hal yang rumit, mau kamu anak pejabat sampai anak yang disekolahinnya kudu puasa 30 hari itu buat bayar biayanya, tetap bisa masuk. Semuanya dikasih kesempatan. Jadilah CPNS ini berasa angin segar untuk orang-orang buat cabut dari workplace yang ajaib ini.
Kapan lagi, kamu ga perlu skill bagus, ga perlu lulusan kampus top, semua bisa masuk selama kamu punya SKCK dan 'berbuat baik'. Ini yang bikin anak anak lulusan gurem ini jadi dapat angin segar untuk naikin status sosialnya mereka, minimal untuk naikin status anaknya biar bisa sekolah di kampus top, bukan gurem lagi kayak bokap nyokapnya.
Hal kayak gini jadi semakin membuatku sadar, bahwa memang dunia bekerja se-random itu. Apalagi istilah baru yang aku punya: ✨CULTURAL FIT✨. Banyaknya orang-orang generasi sekarang yang cuma kerja di workplace ajaib, berasa guoovvlloookk karena ketika apply LinkedIn sama Jobstreet gak keterima-terima, ternyata hal ini bukan hanya sekedar karena skill issue, tetapi hanya sebatas "budaya lo ga sesuai sama budaya karyawan sini"
Sebel ga?
Banget.
Tapi perusahaan juga niatnya bagus bikin cultural-fit gini. Biar ngeblend, biar akur. Karena memang rasanya ga enak banget ketika semuanya main bowling, yang satunya malah main Point Blank ambil paket kalong di warnet sambil ngesampah bocil-bocil.
Karena aku pun juga ngerasain ketika gathering team, ada satu orang yang kurang antusias buat ikut, berasa ekslusif dan elit (maksudnya berbeda sendiri), diajak makan all you can eat gak mau karena maunya di warpad aja, lumayan duit sisanya buat sewa billing paket kalong warnet tadi. Akhirnya... gak enak. Rasanya bener-bener gak enak. Kerja yang asasnya profesional pun tetep gak bisa membohongi kompleksitas perasaan manusia.
Jadi, salah siapa?
36 Komentar
Emang sih susah sekali kerja di negara konoha ini, heheheh. Pembatasan usia jadi masalahnya, tapi ya namanya peraturan mau gimana lagi, 😁
BalasHapusNewsartstory
Yg lebih menjengkelkan pembangunan tidak merata. Jadi penerima tenaga kerja juga tidak seimbang. Numpuk di tempat tertentu. Jadinya ya jomplang
HapusTerkadang kondisi sekarang ini memang se-menyebalkan itu, ya? tapi jika kembali kepada prinsip bahwa adab lebih tinggi daripada ilmu mungkin bisa sedikit meminimalisir ya? :D
BalasHapusDisekelilingku rata rata karyawannya adalah bawaan orang dalam, ada yang beberapa kali salah dimaafkan karena yang bawa adalah orang yang berpengaruh, tapi kalo karyawan yang masuk tanpa ordal, bisa aja dapat teguran, tapi balik lagi buat aku pribadi, kerja sesuai dengan tanggungjawabku sajalah. mau resign usia dah tuir, heheh
BalasHapusIya sih, lama kelamaan capek dengan perpolitikan kantor, makanya kerja sesuai porsinya sajalah :S
HapusWhat... Tapi iya juga sih ya. Makanya, ada saran kalau kita mau ngelamar kerja di perusahaan apapun, minimal kita kudu riset dulu perusahaannya. Mungkin karena kita memang kudu mengenali culture fit ini. Biar kita bisa menyesuaikan diri sebelum interview kali ya. Jadi, bisa lebih mulus masuk ke perusahaan itu.
BalasHapusAda riset, saya lupa judul dan linknya, bahwa "kesuksesan" karyawan a.k.a naik jabatan, kompetensi itu hanya menyumbang 10% doang, yang terbesar adalah engagement atau kecocokan orang lain dengan kita.
HapusKonsep 'cultural fit' seringkali terlalu subjektif dan bisa digunakan untuk mendiskriminasi. Kita perlu fokus pada kompetensi dan nilai-nilai universal, bukan sekadar kesamaan permukaan. Semangat terus yahhh!
BalasHapusMinimal sekarang kalau mau kerja punya ijazah sarjana kan ya, jadinya kuliah dimanapun mau gurem atau keren, semacam kabupaten tempat saya tinggal ini yg penting ya dapat ijazah aja dulu...
BalasHapusGak gitu, ya gak laku
baru dengar nih cultural fit. makasih infonya.
BalasHapusbeberapa temanku ada yg profesi HRD. mungkin bisa ku tanyakan. hehe
Cara penyampaian "cultural fit" nya bagus banget sambil menjelaskan situasi yang terjadi in the reality. Keren banget terimakasih ilmunya
BalasHapusEmang kalo mau dibilang dunia kerja tuh nggak adil. Nggak usah urusan cari kerja, annual review aja kadang penilaiannya suka gak jelas. Tiba2 pas annual review, lah kok gue dpt nilai segini, perasaan gue selalu deliver apa yang diminta, nggak pernah ada komplain. Lalu tiba2 dapat nilai jelek. Pas nanya atasan kenapa alasannya, nggak dikasih feedback. aneh banget
BalasHapusSering terjadi ini hal-hal seperti ini
HapusRuwet juga, klo mau dicari-cari ujung pangkalnya, siapa yang salah benang dalam hal ini?
BalasHapusDunia kerja di negeri ini kadang ruwet yak, kalo gini jadi pengen banting setir jadi wirausaha mandiri. Hahaha
BalasHapusThis called IRONI.
BalasHapusMemang banyak sekali ironi yang terjdi di sekitar kita seakan ngajak bercyandaa..
Padahal ini menyangkut masa depan seorang anak manusia.
Yah, seperti yang dicontohkan oleh pemimpin negeri ini yang nyariin anaknya kerja, padahal duluuu jauh sebelum mereka mereka ini duduk di kursi empuk, masi Bapacknya cuma petugas partai, mereka bilang "Gakkan masuk ke dunia politik."
Memang manusia itu makhluk paling adaptif.
Dan dimanapun ia ditempatkan, sudah seharusnya di sana mereka beradaptasi, "Demi kelangsungan hidup".
Kalo nggak baca tulisan ini kayaknya nggak bakal sadar dengan "kenyataan" yang ada. Padahal selama ini yang digembar-gemborkan pada mahasiswa maupun freshgraduate adalah tingkatkan skill. Dibalik itu, ternyata masih ada hal lain yang jadi salah satu faktor keterima tidaknya seorang job seeker di perusahaan top.
BalasHapusIni related banget sama kondisiku pas jaman kerja. HRD ngotot minta si A yg dari kampus wah, tapi aku g mau karena skillnya 360° g sesuai buat devisiku. Bersyukurnya punya argumen kuat, jadi pilihan HRD g sampe dipilih. Dan kejadian kaya gini buanyak banget di sekitar kita maybe perusahaan tempat kita kerja juga kali ya. Kalau mau tanya salah siapa, ya salah persepsi banyak pihak yg dari kesemuanya malah melanggengkan kondisi kultural fit yg g inklusi buat orang dengan good skill and attitude. ❤️❤️
BalasHapusAneh emang kultur budaya kerja di kita. Dulu aku pernah kerja di perusahaan otomotif di Jawa Tengah. Sama seperti yang diceritakan mas Mario. Skill gak begitu dipertimbangkan saat interview. yang penting lulusan perusahaan top one di jogja. Gaji UMR tapi gayanya kayak sosialita, nongkrong di kafe, pakai mobil pribadi, arisan karyawan. Geli lihatnya. :-D
BalasHapusKalau berdasarkan pengalaman kerja di beberapa perusahaan yang dilihat mostly memang culture fit sih, bahkan di salah satu perusahaan besar pun gak harus pintar yang penting cocok sama culture perusahaannya
BalasHapusAnjir bener banget ini! Cultural fit tuh lebih nyesek ketimbang skill, rasanya jadi makin absurd aja cari kerja zaman sekarang 😩
BalasHapusTapi, liburan ke Gunung Kidul pun seru loh Kak gak kalah dengan Aussy dan teman-temannya hehehe. Memang sih, di dunia corporate, cultural fit ini jadi semacam penting sekali. Ketika diwawancara user contohnya, otomatis kita pun akan dinilai, cocok gak nih masuk dalam tim. Urusan skill, nyatanya gak akan dicek banget. Begitu pun saat sudah masuk ke dalam kantor atau organisasi, orang-orang dengan frekuensi yang sama akan membentuk circlenya masing-masing.
BalasHapusSebagai bagian dari Warga Jogja, saya setuju banget ini. Banyak objek wisata kita yang itu bahkan lebih baik dibandingkan objek wisata luar negeri. Tetapi masalahnya... meskipun objek wisata kita ga kalah, ada orang yang bisa kok pamer ig story kalau dia "bisa main" gak cuma di Indo, tapi juga di luar. Nah yang kayak gini biasanya ngumpul jadi satu di perusahaan topcer-topcer
HapusBingung mau komen apa. Kondisi saat ini memang seperti itu. Mencari kerja susah, dapat kerja ga worht it, lingkungannya juga kurang kondusif.
BalasHapusGimana ya kak aku bacanya pengen teriak setuju bangettttt....di negeri ini orang pintar nggak punya connecting nggak bakal keangkut
BalasHapusBener juga sih. Zaman sekarang kalau kerja itu banyakan lolosnya jalur ordal--orang dalam. Dia anak siapa. Nanti kalaupun keterima, gaji dia lebih tinggi dari yang lain. Istilahnya karyawan darah biru.
BalasHapusInilah Indonesia...hehe...
BalasHapusMenurut temenku nih ya, berdasarkan pengalaman kerja doi di beberapa perusahaan, yang dilihat kebanyakan memang culture fit, sih...
Dan jangan lupakan faktor orang dalam. Sukur-sukur ada paman yang punya power. Jadi bisa dapat pekerjaan bagus meskipun skill B aja.
BalasHapusMasih suka bertemu dengan iklan loker yang mengandalkan wajah harus good looking dan lulus kampus ternama. Sedangkan yang gak memenuhi persyaratan tersebut, ya sudahlah banyak sabar hehe. Padahal di negara maju, gak melihat tersebut,termasuk sola batasan usia
BalasHapusWah Bang Mario, enak sekali baca tulisan Abang ni hehe. Saya terbawa suasana dan mudah memahami isi kontennya.
BalasHapusAlhamdulillah dapat ilmu baru, Cultural Fit ya Bang. Pantas banyak orang ngelamar sana-sini ada yang nggak keterima, rupanya ada faktor kesamaan pribadi hehe. Jadi lebih paham lagi dengan dunia kerja.
Terima Kasih tulisannya Bang Mario.
Dapat istilah baru cultural fit. Realitanya memang seperti itu sih, meski ga semuanya tapi rata-rata.
BalasHapusKayaknya cultural fit dapat berkurang kalau perusahaannya menerapkan meritokrasi. Cuma ya sudah dianggap hal yg wajar sekarang untuk menyesuaikan diri dengan perusahaan
BalasHapusHehehe gabisa komen apa². Realita di lapangan meang begitu adanya. Kesal? Mau gimana lagi, namanya juga "bekerja ke orang lain".
BalasHapusPembahasan yang menarik. Tp pengalaman saya kerja di perusahaan multinasional yg levelnya udah kayak sebuah perusahaan BUMN Indo, sedikit berbeda. HR malah nggak tertarik dengan gaya hidup karyawan. Yg dilihat pure skill dan keinginan bekerja. Kalau Family gathering semuanya dibayar perusahaan, jd gak ada yg gak bisa ikut. Perusahaan jg sering ngajak makan2 tim yg tentunya dibayarin perusahaan.
BalasHapusOh iya kalau BUMN. Acuh tak acuh mah soal gaya hidup karyawan, perusahaan mau bangkrut aja tetap ga sepanik perusahaan swasta kok :D Enaknya emang gitu kalau BUMN, kalau swasta baru tuhh banyak banget yang pilah-pilih calon karyawan sesuai gaya hidup. Bahkan saya pernah menemui orang yang menolak karyawan karena gayanya "sok cantik" padahal skillnya cukup bagus ._.
HapusMungkin bukan hanya gaji underpaid yang membuat para honorer rela berusaha sedemikian rupa, kak. Siapa tahu ada benefit lain yang jadi pertimbangan. Paling sederhana ya jaminan masa tua, maybe.
BalasHapus