Keislaman Tidak Hanya Sekedar Keagamaan
“I went to the West and saw Islam, but no Muslims;
I got back to the East and saw Muslims, but no Islam.”(Mohammad Abduh)
DISCLAIMER: Tulisan ini memiliki potensi menyinggung perasaan, terutama bagi Anda yang sangat fanatik terhadap aliran yang Anda percayai, namun tidak Anda maknai. Saya Muslim dan berusaha untuk menjadi Islam sampai saat ini.
Sebenarnya, topik ini diawali dengan rasa kepenasaran saya mengenai "mengapa rata-rata negara dengan penduduk mayoritas muslim bukanlah negara maju?". Tiap kali saya membaca Al-Qur'an dan hadist, saya melihat banyak sekali pedoman-pedoman hidup. Bahkan, di dalam Al-Qur'an juga diberikan "tips & trik" menjalani berbagai hal dan tata-cara di dunia. Saya juga melihat, semakin negara tersebut mayoritas "patuh" terhadap ajaran Islam, malah menjadi negara yang tidak maju. Padahal harusnya, jika warga negara betul-betul menjalankan ajaran Islam, negara tersebut sudah pasti menjadi negara maju.
Kemudian, saya menemukan suatu artikel (paper) yang ditulis oleh Islamicity Index. Kalian bisa mengakses paper tersebut di sini. Di situ terlihat dan tertulis negara-negara yang memiliki tata kelola kota dan sosial paling islami di dunia. Apakah kalian bisa menebaknya? Kira-kira, negara mana yang memiliki sistem tata kelola kota dan sosial yang paling islami di dunia? Apakah Arab Saudi? Apakah Malaysia? Apakah Iran? Pakistan?
Ternyata bukan.
Negara yang memiliki sistem tata kelola kota dan sosial yang paling islami di dunia justru dari Selandia Baru (New Zealand). Bahkan Belanda yang terkenal dengan miras, ganja, dan seks bebasnya di Amsterdam mendapatkan peringkat ke 4, Austalia yang melegalkan LG HDTV (plesetan dari LGBTQ) malah urutan ke 10. Jepang yang sukses dengan industri Yakuza dan Vornohnya masuk ke urutan 16.
Bahkan, negara yang baru-baru ini dikecam di berbagai negara, terutama negara yang mayoritas penduduknya muslim, yakni Perancis menduduki peringkat ke 24 dan Israel peringkat ke 39. Data ini terupdate terakhir di tahun 2019. Saya penasaran, bagaimana dengan tahun 2024?
Data ini dibuat dan disusun oleh cendekiawan muslim di dunia, kalian bisa melihat para penyusunnya, bahkan Advisory Boardnya di website mereka.
Update: Islamicity Index sudah melakukan update untuk Islamicity Rankings di tahun 2022. Kalian bisa mengaksesnya di sini. Hasilnya tidak jauh berbeda, negara muslim yang paling tinggi adalah Malaysia yang menempati peringkat 43. Masalahnya, indikator human & political rights justru menempati peringkat 68. Penduduk yang mayoritas muslim masih memiliki masalah di bagian human & political rights? Padahal, di Al-Qur'an yang paling banyak di bahas adalah hablum minallah (hubunganmu dengan Tuhan) dan hablum minannas (hubunganmu dengan manusia). Ingat, hubungan dengan manusia, bukan sesama muslim saja.
Data-data tersebut tidak menilai mengenai ibadah personal seperti rukun islam dan rukun iman. Akan tetapi, melihat dan menghitung sistem pemerintahan Islami yang sesuai dengan ajaran Al-Qur'an, yang semuanya diberikan 46 faktor yang dipisah berdasarkan empat kategori, seperti indikator sistem ekonomi negara, kepastian hukum, kemanusiaan dan hak asasi, dan relasi internasional.
Pertanyaannya: mengapa negara muslim memiliki peringkat yang rendah? Bahkan cenderung di atas peringkat 50 dan 100? Tentu saja karena minimnya kepastian hukum, kebijakan ekonomi yang amburadul, nilai pendidikan yang dianggap remeh, dan budaya korupsi yang mengakar rumput.
Saya tidak menyalahkan pemerintah maupun pejabatnya. Karena pejabat-pejabat yang mengisi kursi pemerintahan, sejatinya adalah cerminan dari warganya. Bukan warga yang menjadi cerminan dari pemerintahannya. Itulah mengapa saya tidak terlalu memaki atau emosi ketika ada pejabat yang korupsi atau memiliki kebijakan yang aneh, lah warga negaranya juga hobi korupsi kok. Bagian ini pernah saya bahas di sini.
Terlebih, faktor kejujuran justru menjadi masalah yang paling serius di negara-negara yang mayoritas muslim. Sekarang gini, semisal kamu sedang ada di foodcourt, lalu mau ke toilet, berani engga ninggalin hp di meja? Pasti enggak, kan? Bahkan banyak orang yang bilang "jangan memancing orang untuk berbuat jahat" dan slogan bang napi "kejahatan tidak datang dari perbuatan, tetapi datang dari adanya kesempatan, anjay!" (bagian anjay sebenarnya ga ada, saya ngide aja).
Tetapi, kata teman saya yang kerja di Jepang, ketika kalian ketinggalan hp dan dompet di sebuah meja foodcourt sekalipun, ketika kalian kembali, hp dan dompet masih ada di tempat semula tanpa bergeser sedikit pun. Coba jika kalian lakukan di negara muslim, termasuk Indonesia. Apakah berani? Padahal kalau dicermati, Islam sudah selengkap itu mengajarkan kejujuran. Tiap hari saya mendengar suara adzan dan seruan-seruan pengajian, tetapi, masjid-masjid sekarang pun terpasang CCTV. Suatu fenomena yang miris menurut saya, karena banyaknya CCTV di masjid menandakan krisisnya kejujuran di tempat itu.
Selain itu, negara muslim mana yang menduduki peringkat atas pada uji kesetaraan matematika dan sains atau populernya PISA? Jangankan negara muslim deh, para saintis muslim yang memenangkan nobel saja itu sangat sedikit sekali jika dilakukan perbandingan dengan populasi secara global. Bahkan, sorry to say, penganut Yahudi (jewish) justru lebih banyak berkontribusi pada kemaslahatan manusia dibandingkan umat muslim. Padahal ayat pertama dalam Al-Qur'an yang turun adalah iqra'. Memiliki arti "bacalah", atau perintah untuk membaca. Jika kita maknai lebih dalam, secara tidak langsung bisa ditafsirkan ayat pertama di dalam Al-Qur'an adalah perintah agar kita selalu belajar. Tetapi nyatanya?
Setelah melihat data di atas, hal yang paling saya kecewakan adalah tanggapan dari orang yang bilang "para ilmuwan-ilmuwan non muslim itu, dia akan diberikan ketenaran dan rezeki yang berlimpah di dunia saja, namun ketika di akhirat nanti, mereka akan tetap masuk neraka."
Mohon maaf sekali, saatnya saya berkata goblok kepada orang yang masih menganggap ilmuwan non muslim masuk neraka. Lah, tanpa adanya penemuan dari (yang katanya) ilmuwan kafir itu, masjid-masjid Anda tidak akan seterang, sebagus, semegah, dan semodern sekarang. Anda tidak mungkin bisa menyuarakan adzan hingga terdengar ke rumah-rumah desa tanpa adanya TOA, penemu TOA bukan dari orang muslim, penemu listrik bukan orang muslim, penemu lampu, dan penemuan-penemuan lain yang sangat membantu umat muslim. Dari penemuannya itu, yakali masuk neraka? Lalu, siapa Anda? Kok tiba-tiba memutuskan ilmuwan kafir itu masuk neraka? Kok Anda dengan mudahnya mengambil hak prerogatif Gusti Allah?
Fenomena aneh yang lain, (mungkin agak sensitif, jadi mohon kebijakannya dalam membaca), adalah fenomena aksi pemboikotan produk-produk yang terafiliasi dengan peperangan Israel-Palestina. Begini, for disclaimer saya sangat tidak mendukung aksi genosida yang dilakukan Israel. Sangat jelas saya katakan di sini saya tetap berpihak pada korban, bukan pelaku aksi menghilangkan nyawa manusia. Warga Indonesia, terutama yang beragama muslim, berbondong-bondong menyeru aksi boikot. Boikot produk ini dan itu. Masalahnya: itu tidak menyelesaikan apapun. Aksi pemboikotan apakah ada pengaruh? Tentu ada! Akan tetapi, pengaruh yang terbesar adalah turunnya angka pengangguran dan kestabilan ekonomi, yang berdampak pada saudara kita, teman, tetangga, atau orang lain yang menjadi kepala keluarga terpaksa harus kena PHK gara-gara aksi pemboikotan. Lalu dengan mudahnya, hal ini ditimpali "semoga Allah mengganti dan memberikan pekerjaan pengganti.". Lah, yang bikin mereka kena PHK kan ente juga!
Saya sangat menyayangkan, pemboikotan harusnya dibarengi dengan "yuk, kita gotong royong bikin produk A, produk B, cara A, cara B, untuk membantu saudara-saudara kita yang bekerja di perusahaan terafiliasi Israel". Atau kita berbondong-bondong, mempelajari dan menciptakan teknologi pengganti, yang selama ini kita gunakan. Siapa yang tergerak di sini? Hampir tidak ada. Semuanya masih menggunakan Google, Android, dan Apple. Bahkan, kita kalah dengan Tiongkok yang telah menciptakan teknologi "Android" dan "Google"nya sendiri, padahal Tiongkok bukan negara muslim. Merasa aneh? Padahal perintah di Al-Qur'an sudah sangat jelas.
Lalu, jika hal-hal yang mengandung kemaslahatan manusia, bahkan yang tertera dan diperintahkan di dalam Al-Qur'an saja masih rendah, mengapa kita masih menanyakan mengapa negara muslim (kebanyakan) terbelakang?
0 Komentar