Kak Ros Adalah Sebenar-benarnya Sandwich Generation

 


Halo semuanya!

Siapakah di sini yang tidak mengenal sosok mbak-mbak satu ini?

Yap, Kak Ros di serial Upin & Ipin. Bagi saya, Kak Ros ini sosok yang sangat tangguh dan dapat menjadi tauladan bagi para muda-mudi, terutama yang saat ini terjebak pada sandwich generation. Lho kenapa gitu?

Jadi begini...

Pada suatu hari di Kampung Durian Runtuh.
Matahari baru nongol, ayam punya Tuk Dalang udah berisik, bocil-bocil lari-larian sambil teriak "Upin! Ipin!"
Tapi siapa yang udah bangun dari subuh?
Siapa yang udah masak nasi, nyuci baju, ngepel lantai, siapin bekal, mandiin bocah, dan masih sempat marah-marah biar semua on schedule?

Ya siapa lagi kalau bukan Kak Ros.
Bukan superhero, bukan pejabat, bukan influencer.
Tapi… produktif. Sangat produktif.

Coba, sejenak kalian bayangin hidup sebagai Kak Ros.
Satu rumah, dua bocil kembar, satu nenek, dan nol penghasilan tetap.
Hidup di desa, tapi harga bahan pokok tetap naik.
Gak ada BPJS buat nenek. Gak ada subsidi buat cucu.
Gak ada asuransi, gak ada jaminan masa depan.

Tapi apa yang ada?
Ekspektasi.

“Harus bisa jaga rumah.”
“Harus bisa jaga adik.”
“Harus bisa gak galak.”
“Harus bisa tetap cantik dan ramah.”

Sementara hidup realitanya begini:
Gaji enggak ada, jaminan enggak ada, bantuan sosial enggak nyampe.

Dari sini kita sangat mengetahui bahwa Kak Ros adalah THE REAL MVP Sandwich Generation.


Apa itu Sandwich Generation?

Sandwich generation adalah generasi yang harus menopang dua sisi kehidupan:

  • Atas: orang tua atau kakek-nenek yang sudah tidak produktif

  • Bawah: adik, anak, atau keluarga yang belum mandiri

Bayangin kamu tuh roti tengah, diapit tanggung jawab kiri-kanan, atas-bawah, depan-belakang.
Masalahnya, kamu gak bisa copot satu pun.
Kalau kamu patah, ya udah... semua hancur.

Kita kembali ke Kampung Durian Runtuh.

Kak Ros, cewek muda, kakak sulung, masih sangaat muda, tapi harus mikirin:

  • Adik kembar dua bocil, Upin dan Ipin, yang tingkahnya kadang kayak sumbu pendek dicelupin bensin pertalite.

  • Nenek tua alias Opah, yang sakit-sakitan tapi tetap pengen nyambel dan ngomong bijak.

  • Diri sendiri? Lupa. Kayaknya udah gak sempat mikirin.

Kak Ros gak punya suami, gak punya pasangan, gak punya pekerjaan tetap yang jelas, tapi tiap episode tetap berdiri tegak.
Bikin sarapan, ngantar sekolah, ngurus bocah, dan tetap menjaga rumah.
Belum lagi urusan sosial di kampung, acara-acara RT, dan tetangga julid yang mungkin sering nanya:

“Ros, bila mau kawin?”

Di titik ini, kita bisa bilang...
Kak Ros bukan galak, dia lelah. Dia bukan pemarah, dia bertahan.

Kalian pernah lihat Kak Ros pacaran?
Ngobrol tentang masa depan?
Punya waktu untuk self-care, nonton drama Korea, atau sekadar rebahan?

Enggak.

Karena mungkin, di lubuk hatinya, dia takut menikah.
Bukan karena dia anti-laki. Tapi karena dia tau, hidupnya udah penuh tanggung jawab.
Kalau nanti nikah, siapa yang rawat Opah?
Kalau nanti punya anak, siapa yang jaga Upin-Ipin?

Dan siapa tahu, dia pernah mikir:

"Kalau pasangan gue gak ngerti posisi gue, dan malah nambah beban... mending gak usah."

Itulah yang gak pernah diceritakan di serial itu. Tapi kita bisa lihat dari matanya.
Matanya lelah. Tapi masih nyala.


Realita Sosial dan Ekonomi

Mari kita bicara soal ekonomi keluarga menengah ke bawah.
Generasi Kak Ros (yang kira-kira sekarang berumur 20–30-an) hidup di masa transisi.
Di satu sisi, dia masih terikat beban keluarga besar yang miskin struktur.
Di sisi lain, dia dihadapkan dengan dunia modern yang menuntut kemampuan multitalenta, harus bisa cari duit, tetap cantik, tetap sabar, tetap murah senyum.

Tapi Kak Ros bukan selebgram yang pollowernya buanyak, seuprit. Bahkan buat beli bot followers aja mikir karena duitnya buat ngurus dua bocil yang minta disleding tackle itu.
Dia gak bisa monetisasi “keromantisan mengurus anak orang”.
Dia gak bisa jualan skincare dengan foto aesthetic sambil ngasuh adik kembar dan nyuapin neneknya.

Kak Ros cuma punya satu hal: tenaga.
Dan itulah yang dieksploitasi sistem.

Generasi Kak Ros adalah generasi "survivor"

Mereka gak punya waktu buat healing.
Gak punya duit buat ngopi cantik.
Gak sempat bikin konten edukatif karena masih kejar cucian dan masak buat rumah.

Dan yang paling nyesek:
Mereka gak pernah minta dihormati, mereka cuma pengin sedikit ruang bernapas.

Tapi kita malah bilang:

“Kak Ros galak.”
“Kak Ros jutek.”

Bro, gimana lo gak sinis kalau lo udah kerja rodi dari umur belasan? Bahkan doi udah jadi orang tua di usia yang masih sangat belia.

Coba lo pikir. Kenapa Kak Ros gak pernah pergi?
Gak pernah liburan? Gak pernah ninggalin kampung dan ngilang dari tanggung jawab?

Karena... gak ada pilihan.
Masyarakat kita gak ngasih ruang buat perempuan kayak dia untuk cabut tanpa dihakimi.

“Kakak macam apa yang ninggalin adik?”
“Anak macam apa yang ninggalin nenek?”
“Perempuan gak seharusnya egois!”

Padahal, hidup itu gak sesimpel itu.
Kak Ros bukan superhero. Dia bukan program pemerintah.
Dia cuma manusia.

Kak Ros bukan miskin karena malas. Tapi karena sistem gak kasih jalan keluar.
Akses pendidikan tinggi? Gak ada.
Pekerjaan layak? Gak sampai.
Dukungan sosial? Tipis.


Perspektif Ekonomi

Dalam teori ekonomi konvensional, aktivitas ekonomi itu cuma dihitung kalau menghasilkan duit.
Kalau lo buka warung, masuk.
Kalau lo nyangkul sawah, masuk.
Kalau lo kerja kantoran, jelas masuk.
Tapi kalau lo:

Ngurus rumah?
Ngasuh anak orang?
Ngerawat orang tua? Jadi counselor, chef, cleaning service, dan bodyguard sekaligus?

TIDAK MASUK.

Aktivitas Kak Ros adalah bentuk invisible labor, kerja-kerja tak kasat mata yang menopang seluruh ekonomi keluarga tapi gak pernah dapat honorarium.

Sekarang bayangin kalau Kak Ros punya warung kecil.
Dia bisa masak, bisa jaga toko, bisa kelola stok, bisa ngitung modal, bisa ngadepin pelanggan.
Tapi kenapa gak buka usaha?

Karena, seperti banyak perempuan lain di Indonesia, dia:

  1. Gak punya modal
  2. Gak punya waktu
  3. Gak punya support system

Ini bukan masalah kemauan. Ini soal struktur.
Dan inilah kenapa, perempuan seperti Kak Ros selalu ditinggalkan dari skema pertumbuhan ekonomi.

Padahal, data BPS nunjukin bahwa perempuan juga menyumbang sektor perekonomian informal.
Tapi siapa yang peduli? Gak ada.
Karena mereka gak viral.
Gak bisa nulis proposal.
Gak bisa main TikTok motivasi bisnis.

Kak Ros adalah contoh betapa akses ekonomi lokal belum ramah gender.
Coba kalian cari di kampung-kampung, jangan lihat kota gede kayak Jakarta doang:
Berapa banyak perempuan yang bisa pinjam modal tanpa suami?
Berapa banyak perempuan yang punya nama sendiri di sertifikat rumah?
Berapa banyak perempuan yang bisa buka usaha tanpa harus ngurusin cucian dan anak dulu?

Jawabannya: dikit banget.

Karena budaya kita masih nganggep:

"Perempuan kerja itu bagus, tapi jangan lupa urus rumah."
Padahal ngurus rumah itu juga kerja.

Dan kerja-kerja seperti Kak Ros itu adalah penopang ekonomi lokal yang sesungguhnya.
Tanpa dia, bocah-bocah gak sekolah.
Tanpa dia, rumah gak jalan.

Tanpa dia, si dua bocil skizo Upin dan Ipin bisa tumbuh jadi preman pasar. 

Kalau kalian mikir ekonomi mikro lokal itu cuma soal koperasi, UMKM, dan warung kelontong, kalian keliru.
Ekonomi mikro lokal adalah tentang orang-orang kecil yang kerja tanpa pamrih, tanpa sorotan, tapi punya dampak besar.

Dan Kak Ros adalah wajah dari itu semua.
Dia galak bukan karena marah-marah doang.
Dia galak karena sistem ini terlalu sepi dukungan.

Saat kita bicara soal kebangkitan ekonomi dari desa, dari kampung, dari rumah...
Maka kita wajib mengakui satu hal:

Kak Ros bukan beban, dia tulang punggung.
Kita cuma belum kasih dia panggung.


Kak Ros Adalah Kita

Di Indonesia, ada ratusan ribu bahkan jutaan “Kak Ros” dalam versi dunia nyata.

Cewek muda yang harus mengorbankan masa mudanya buat ngurus adik dan orang tua.
Yang gak bisa resign meskipun kerjaannya toksik karena gaji itu satu-satunya sumber hidup keluarga.
Yang gak bisa jatuh cinta sembarangan karena takut bawa luka ke rumah tangga.

Mereka lahir bukan karena mereka pengen, tapi karena sistem sosial dan ekonomi negara ini memaksa mereka untuk kuat.

Kalau kalian lihat Kak Ros cuma sebagai karakter kartun, berarti kalian belum cukup buka mata.
Karena di dunia nyata, Kak Ros itu bisa ibumu, kakakmu, tetanggamu, bahkan mungkin lo sendiri nanti.

Kita hidup di tengah ekonomi timpang, budaya patriarki, dan negara yang masih belum tuntas soal keadilan sosial secara merata. Inget ya: SECARA MERATA.
Kalau lo masih ngeyel soal ini, coba lo mainlah ke kampung ya, pan8! Di sana, kekentalan budaya bikin perempuan kayak Kak Ros ini terjebak, yang itu juga dialami oleh ratusan perempuan di setiap sudut-sudut kampung.

Dan di tengah semua itu, Kak Ros tetap berdiri.

Mungkin dia gak tersenyum, tapi setidaknya dia gak tumbang.
Dan itu, kawan... adalah definisi kekuatan paling asli dalam hidup.

So... good luck...
...and have a nice day!

22 Komentar

  1. Semakin kita dewasa semakin paham bahwa sebenarnya peran kak ros sangat vital di dalam keluarga upin ipin.. dia harus menjadi sosok orang tua bagi kedua adiknya, serta menjadi contoh teladan sebagai cucu yang berbakti

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Kak Ros merupakan karakter satir atas fenomena sosial di sekitar kita

      Hapus
  2. Saya juga salut dan kagum dengan sosok Kak Ros ini. Padahal kalau dilihat seragamnya, dia masih SMA ya. Tapi harus ngurus adik, memastikan moral dan pembelajaran adiknya, harus ngurus rumah, masak bersih-bersih, dan kadang usaha sampingan.
    Tapi untungnya, animasi Upin Ipin ini membuat karakter Kak Ros lebih realistis, yaitu "galak dan suka marah-marah". Dulu saya sebagai ibu muda nonton Kak Ros ini sangat merasa terwakili. Selelah itu loh ngurus anak dan rumah, ekonomi juga terbatas.
    Lalu, ada kerabat masih remaja, udah kuliah ga pernah nyentuh pekerjaan rumah tiba-tiba komen yang engga-engga, seolah perempuan itu ga boleh marah. Padahal dia sendiri makan nunggu disiapkan ibunya.
    Hihi sempat kesal dan marah sih, soalnya peran Kak Ros begitu banyak, tapi di dunia nyata malah ketemu remaja tanpa beban yang sering nge-judge.

    BalasHapus
  3. Tadinya cuma lihat Kak Ros sebagai karakter galak di kartun, tapi setelah baca ini jadi sadar — dia tuh gambaran real dari banyak perempuan tangguh di dunia nyata. Terima kasih udah buka perspektif baru. Respect untuk semua 'Kak Ros' di luar sana!

    BalasHapus
  4. Urus rumah juga kerja. Begitulah masih banyak orang menganggap ibu rumah tangga yang ga ngantor riil itu cuma ongkang2 kaki di rumah padahal segambreng yang harus dikerjakan. Kasihan banget Kak Ros banyak yang dia pikul, pantas suka ngomel2 ya. Ga pernah dia pacaran sepertinya karena adik2nya mesti diperhatikan juga anggota keluarga lainnya.

    BalasHapus
  5. Generasi kejepit atas bawah dalam tanggung jawab karena makin banyaknya persaingan dalam hidup. Tantangan hidup yang harus menemukan solusinya.

    BalasHapus
  6. Setelah menjadi ibu, saya bis amengatakan kalau Kak Ros itu hebat. Galaknya Kak Ros tuh karena sayang. Bukan karena kasar atau jahat.

    BalasHapus
  7. Wow..sudut pandang yg bagus sekali, dan sangat mencerahkan! Terima kasih ya ..membaca tulisan ini aku seperti tercubit keras. Begitu tak peka nya aku atas fenomena sosial di sekeliling ku. Sekali lagi, terima kasih utk tulisan bagus ini.

    BalasHapus
  8. Kok saya jadi mikir, apa posisi Ka Ros juga saya alami?
    Secara tanggungan dan posisi saya juga ga jauh beda
    Waduh, harus banyak yg dihadapi nih ternyata jadi generasi sandwich ini

    BalasHapus
  9. Aku nggak pernah nonton upin ipin sih, tapi karakter kak ros ini lekat baget dan kalau dipikir-pikir ya bener juga ya. Dia tuh galak tapi juga kudu bertanggung jawab buat nenek sama dua adik kembarnya. Relate banget sama kondisi personal terutama mereka yang anak pertama dan generasi sandwich.. :)

    BalasHapus
  10. Makin kita dewasa, makin ngerti kalo kak Ros ini bebannya emang berat. Jadinya aku juga pikir2, kartun upin ipin gak cuma cocok untuk anak2, tapi juga orang dewasa

    BalasHapus
  11. Duh kak POV tulisannya pake kak Ros, jadi ga bisa berkata-kata. Pokoknya kak Ros itu paling keren, ngurus adik-adiknya juga neneknya

    BalasHapus
  12. Figur penjelmaan ssok prempuan di Indonesia kebanyakan seperti Kak Roos ini ya
    Bebas ditanggung sendiri padahal sebetulnya tidak ia memiliki dunia dan harapannya juga

    Semangat untuk Semua jelmaan Kak Roos dimanapun berada

    BalasHapus
  13. Anak sulung rata-rata jadi gen sandwich, karena dia punya adik yang dia lindungin, tuntutan orang tua, anak sulung harus jadi teladan....

    BalasHapus
  14. Bisa dibilang kak Ros itu berat bebannya n banyaknya tanggungg jawab yg buat kk Ros tetap semangat mengejar mimpinya bahkan Kk ros itu masih ada waktu buat belajar. Ya meski kayak gitu dia harus bisa tersenyum dan semangat menghadapi duo kembar Upin dan Ipin serta Opah.. Semangattt

    BalasHapus
  15. Setelah aku pikir-pikir dan baca tulisan ini emang bener ya! kak Ros tanggungannya banyak banget

    BalasHapus
  16. makanya kak ros galak ya, tanggungannya berat, hehehe. sampai kapanpun, selama suhu ekonomi seperti sekarang bahkan memburuk, generais sandwhich akan selalu ada. apapun kebijakan ekonominya, pasti ngaruh gak hanya kepada sosok seperti kak ros, tapi hampir di semua lapisan.

    BalasHapus
  17. Iya sih Kak Ros gak punya gaji, dan bener sepertinya untuk jenis generasinya.
    Dia kayaknya freelance sebagai penulis komik ya.
    Tapi hebatnya dia punya tablet, headset, dan kekinian. Ini yang bikin bingung dia bisa belanja itu darimana hehe.

    BalasHapus
  18. Deep talk, deep thinking.
    Karakter kak Ros yang ada di kartun, bukan hanya sekedar pemanis cerita, tetapi juga membawa big message yang bisa kita pelajari dari berbagai macam POV.

    Suka banget dengan pandangannya yang luas dan sangat menghargai perempuan.

    Dan paling suka kalau ternyata, perempuan itu butuh cermin. Cermin untuk melihat betapa hebatnya dirinya uda berdiri tegak menopang semua beban dan jasanya tak dikenang. Terlihat sepele di hadapan orang banyak, padahal kalau karakter ini hilang dari cerita, semuanya akan terasa lumpuh.

    BalasHapus
  19. Kak Ros bener-bener mencerminkan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh banyak perempuan di generasi sandwich. Kadang kita terlalu fokus pada kehidupan yang tampak mudah, padahal banyak orang di sekitar kita yang berjuang keras, bahkan tanpa pengakuan atau dukungan.

    BalasHapus
  20. kalo bahas san-gen ini bikin sedih banget. udah di Indonesia nih lapangan kerja nggak banyak, penduduknya buanyak banget. rasanya kok miris yaa. jadi san-gen kudu bertahan di tengah himpitan ekonomi yg seperti ini

    BalasHapus
  21. Artikelnya jleb banget ini kak, tapi ya memang kenyataan yang terjadi seperti itu. Ada banyak kak Ros di dunia ini. Ada yang akhirnya dia sampai lupa menikah, dan baru menikah setelah adik-adiknya lulus kuliah dan menikah karena sibuk bekerja membiayai adik-adiknya dan membantu orangtuanya

    BalasHapus

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia
Gopaylater Ads