Saya Yakin Tidak Akan Ada Revolusi Dalam Waktu Dekat
Halo, semuanya!
Kamu sadar gak, Indonesia tuh udah kayak negara paling produktif bikin event demo di Asia Tenggara.
Seriusan deh. Kalau ada lomba “demo paling sering dalam satu tahun”, kita bisa juara umum, udah bisa ngalahin Thailand, ngalahin Filipina, bahkan mungkin Korea kalau mereka lagi sibuk konser "my moment is yet to comee~ yeaahh~)
Tiap bulan pasti ada aja demo, demo di depan DPR sih terutama, atau demo soal pendidikan, demo ojol, demo buruh, bahkan demo yang aku yakin setengah pesertanya gak tau tuntutannya apa, tapi dateng karena “widiw rame broo, yaelah nasionalisme neeehh!”
Yang terakhir kemarin tuh cukup parah. Ada demo di depan DPR, awalnya damai, teriak-teriak “Hidup rakyat! Turunkan pejabat!”. Beberapa menit kemudian, ada yang nyalain ban. Sepuluh menit berikutnya, polisi keluarin water cannon. Dan sejam setelah itu, headline berita udah begini:
“Demo Ricuh di DPR, Ratusan Ditangkap, Massa Didorong Gas Air Mata.”
Aku liat video-videonya. Ada yang teriak-teriak, ada yang nangis, ada juga yang abis dikejar water cannon malah nongkrong di Alfamart beli teh botol (gak ding ini gak ada kayaknya).
Sampai akhirnya muncul berita tragis, seorang ojol, namanya Affan, meninggal karena terlindas kendaraan taktis. Dan publik pun meledak.
Twitter rame, TikTok rame, semua mulai ngomong:
“Apakah ini awal revolusi baru?”
“Apakah ini 98 versi upgrade?”
“Apakah rakyat sudah muak dan siap turun tangan?”
Lalu kamu buka berita lain, dan ternyata besoknya, orang-orang yang demo itu… udah balik kerja.
Ada yang ngojek, ada yang jualan, ada yang kuliah.
Itu momen di mana aku sadar:
kita ini bangsa yang bisa marah keras, tapi juga bisa langsung damai.
Kayak karakter video game yang punya rage bar, tapi cooldown-nya cuma 3 jam dan bisa di-reset.
Padahal ujung-ujungnya… setelah gas air mata dibubarin, semuanya nongkrong di Indomaret deket DPR.
Beli Pocari, beli kopi botolan, terus upload story:
“Barusan revolusi kecil-kecilan, guys. ✊ #SaveRakyat #AbisKenaGas”
Aku tuh bukan mau meremehkan semangat teman-teman yang demo, ya.
Tapi kita mesti bedain antara revolusi sama revisi RUU yang ditolak DPR tapi akhirnya disahkan juga.
Itu dua dunia yang berbeda, bro. Kita akan melihat ini dari perspektif ekonomi ya, bahwa melihat aksi demo belakangan ini, meskipun sudah digaung-gaungkan kata "REVOLUSI", saya berpendapat bahwa: tidak akan ada revolusi (dalam waktu dekat).
Mengapa?
Bab 1: Demo Indonesia dan Ilusi Revolusi
Akhir-akhir ini demo udah kayak konser musik di kampung karena Pak Ramli habis hajatan anaknya yang baru sunat gitu, alias tanpa line up. Kadang mahasiswa, kadang ojol, kadang buruh, kadang warga random yang “eh rame ya? ikut ah.”
Ada yang marah soal tunjangan DPR naik, ada yang demo karena stafsus influencer. Dan ada yang cuma pengen update story biar dibilang peduli. Beneran ini ada loh!
Sampai akhirnya ricuh. Ban dibakar, botol dilempar, water cannon keluar.
Terus berita muncul:
“Ratusan orang ditangkap, satu ojol tewas tertabrak kendaraan taktis.”
Langsung headline di mana-mana:
“Apakah Indonesia Akan Revolusi?”
Dan aku cuma bisa mikir,
Revolusi?
Bab 2: Revolusi Prancis
Kamu tau gak, kalau mau belajar cara manusia kehilangan kesabaran paling epik sepanjang sejarah, ya liat aja Revolusi Prancis.
Jadi gini ceritanya.
Abad ke-18, Prancis itu kayak versi “negara yang fancy di luar tapi hancur di dalam.”
Kaum bangsawan hidupnya glamor, alias pesta tiap malam, makan roti, keju, dan minum anggur kayak tiap hari Jumat itu happy hour nasional gitu. Mana gak kerja lagi, alias mereka nganggur cuma kebetulan hidup di istana aja gitu.
Sementara rakyat jelata? Makan roti aja susah, gandum mahal, dan pajak kayak lintah darat.
Bayangin kalian jadi petani waktu itu, hasil panen dijual ke negara, tapi pajaknya bisa setengah penghasilan. Dan kalau kalian ngeluh, kalian disuruh doa biar “diberkati gereja.”. Ini juga program dari bangsawan untuk meredam rakyat biar "udeeehh gausah ngeluh, dah ntar lo juga diberkati sama Gereja".
Jadi kalian bayar pajak buat negara, buat gereja, dan buat bangsawan, sementara mereka gak bayar apapun, cuma bayar tukang musik dan katering aja buat pesta.
Lalu satu hal kecil terjadi: krisis gandum.
Harga roti naik, stok menipis, rakyat kelaparan. Dan dari situ lahir satu kalimat legendaris yang mungkin gak pernah diucapkan tapi hidup di kepala semua orang:
“Kalau gak ada roti, makanlah brioche.”
Itu kata Marie Antoinette. Fyi buat yang enggak tau apa itu Brioche, itu sejenis cake yang cukup mahal karena mengandung banyak telur dan butter. Ibaratnya ini beras mentik wangi atau rojolele lah (mereka makanan pokoknya roti). Lah kenapa ini bikin marah? Ya kalian pikir aja, makan roti kualitas murah aja rakyat susah, apalagi Brioche, ente kadang kadang ente emang si Jeng Marie ini.
Dan rakyat pun menjawab dengan cara yang cuma bisa dilakukan oleh orang lapar:
"Kalau gak ada roti, makanlah Marie Antoinette"
Tapi yang menarik, setelah kepala sang ratu jatuh… mereka gak langsung makmur.
Justru masuk masa kegelapan: kudeta, perang, sampai akhirnya muncul Napoleon yang nyatanya malah bikin monarki lagi. Butuh 80 tahun buat Prancis stabil jadi republik.
(Referensi: “A Tale of Two Cities”, Charles Dickens; dan “Citizens: A Chronicle of the French Revolution” by Simon Schama)
Kalau mau dijelasin secara ilmiah, revolusi itu bukan muncul karena orang marah, tapi karena orang kehilangan ilusi bahwa besok bakal lebih baik. Ini poinnya! Ini juga dijelasin di Buku Why Nations Fail by Daron Acemoglu. Kalian yang suka banget sama ekonomi, seru banget baca buku ini!
Oh iya, kalau ngomongin tentang psikologi ekonomi, ini disebut “Expectational Collapse.”
Ketika harapan ekonomi jatuh lebih cepat daripada kemampuan bertahan hidup. Selama orang masih bisa berharap, mereka akan berjuang. Tapi begitu harapan itu habis, sisa yang ada cuma dua hal:
lapar dan nekat. Dan kombinasi “lapar + nekat” itu yang bikin kepala ratu melayang.
Pertanyaannya: apakah kita sudah lapar dan bikin nekat?
Bab 3: Indonesia Beda Kelas Masalahnya
Sekarang bandingin dengan Indonesia. Kita memang sering ngeluh soal harga, gaji, pajak, politik, tapi…
secara psikologis, rakyat Indonesia itu masih punya 'ilusi harapan'.
Masih bisa mikir, “ya udah deh, yang penting anak bisa sekolah,” atau “yang penting bulan depan bisa mudik.”. Masih banyak yang bisa menikmati makanan enak. Udah itu. Hari ini siapa yang gak makan enak? Bahkan anak kosan yang ngaku ngaku kismin aja, bisa makan pokwe ayam krispi.
Bahkan dalam krisis, kita tetap bisa bilang: “Ya sudahlah, yang penting masih bisa makan + ngudud.”
Dalam behavioral economics, ini disebut “Satisficing Behavior.”
Manusia gak selalu nyari yang terbaik, mereka cukup cari yang “cukup baik buat bertahan.”
Dan rakyat Indonesia itu juara dunia dalam hal itu.
Kita bangsa yang bisa menoleransi penderitaan sambil tetap bercanda. Itu bukan kelemahan, itu mekanisme bertahan hidup yang luar biasa. Cuma... efek sampingnya, ya itu tadi, revolusi gak akan pernah kejadian.
Intinya, selama mie ayam dan udud + kopi item bisa dijangkau, gak ada itu revolusi. Seriusan.
Kamu bayangin, bro. Negara ini belum siap revolusi karena masyarakatnya masih bisa debat di sosmed pake iPhone, atau kalau mau kelas android ya bisa lah itu beli Xiaomi 15t Series. Indonesia juga menjadi negara dengan pengguna internet terbanyak, sekaligus gamers terbanyak juga dari Indonesia (aku gatau peringkat berapa, tapi setidaknya masuk top 10 atau top 3 lah).
Kalau bener-bener kelaparan, siapa yang mau berselancar di sosmed kek gitu?? Kuota aja udah gak kejangkau. Lebih baik buat makan lah!
Dari sisi ekonomi, rakyat miskin di Indonesia gak bayar pajak langsung (pajak penghasilan nol atau kecil banget). Negara dapet pajak mayoritas dari kelas menengah ke atas. Dan makanan pokok? Masih disubsidi, masih tersedia.
Selama beras masih bisa dimasak, cilok masih bisa dibeli, dan gacoan masih ngantri, ya gak akan ada revolusi.
Bab 4: Lapar Adalah Pangkal Revolusi
Dalam psikologi ekonomi, ada satu teori klasik dari Abraham Maslow, namanya Hierarchy of Needs — piramida kebutuhan manusia.
Kebutuhan paling dasar: makan, minum, tempat tinggal. Kalau ini terpenuhi, manusia gak akan berpikir memberontak. Dia lebih fokus ngeluh di X (Twitter) atau nulis “apalah ini pemerintah gak becus!” di kolom komentar sosmed manapun.
Revolusi baru bisa terjadi kalau kebutuhan dasar gagal total. Makanya kata ekonom Amartya Sen dalam bukunya “Poverty and Famines”, kelaparan massal itu bukan cuma karena kekurangan makanan, tapi karena hilangnya akses dan harapan. Selama perut rakyat masih bisa diisi, walau cuma Indomie rebus dan tempe mendoan, akses dan harapan itu masih ada.
Kalau di Prancis dulu rakyat lapar karena roti langka, di Indonesia, rakyat masih bisa beli mie ayam.
Dan selama mie ayam masih bisa dijangkau oleh para kantong kering, revolusi gak laku Karena di sini, lapar itu bukan ideologi. Lapar itu cuma jeda sebelum makan. Dan negara tahu banget cara ngatur jeda itu: kasih BLT, kasih subsidi, kasih konser, kasih diskon ongkir, semua demi jaga perut tetap hangat.
Nah, kita bisa melihat Korea Utara deh. Karena.... Korea Utara ini menarik. Orang sering bilang, “Kok rakyatnya gak revolusi sih?” gitu kan? Heran gak kalian kenapa Korea Utara yang diktaktornya seperti itu kok tidak ada revolusi? Padahal ya... bayangin aja keringet kita diperas banget sampe jadi kayak kanebo kering, tapi negara itu tetap eksis berdiri?
Jawabannya sederhana: karena Kim Jong Un itu ngerti 'how to maintaining poor people'
Rakyatnya disuruh kerja, disuruh hormat, disuruh nyanyi lagu cinta partai. Begitu lapar, Kim dateng bawa makanan:
“Nih, makan dulu ya, rakyatku.”
Seketika rakyat yang tadinya mikir mau memberontak langsung ngerasa terharu. Kayak abis dimarahin tapi dikasih nasi padang lengkap dengan sotongnya itu.
“Terima kasih, Tuan Kim, aku lapar, aku maafkan semua penderitaan ini.”
Jadi, kalau kamu benar-benar mau ada perubahan sistemik, bukan demo bakar ban, tapi ganggu aliran ekonomi. Harus ada yang menjadi antagonis ekonomi. Cuma masalahnya, ketika kamu menjadi antagonis ekonomi, yang kena dampaknya bukan kamu aja, tapi juga keluargamu, saudaramu, tetanggamu, dan dirimu sendiri. Semua pasti kena. Oleh karena itu, sejahat-jahatnya manusia, tidak mungkin dia menjadi antagonis ekonomi kecuali emang niatan menyerang negara lain, levelnya udah peperangan negara bukan individu terhadap negaranya.
Dari sisi ekonomi, selama masih ada akses ke bahan pokok, masih ada matcha latte dan dimsum yang bisa dibeli sewaktu CFD itu, masih ada peluang kerja meskipun recehan, rakyat masih punya sense of control.
Dan selama manusia masih punya sedikit kendali atas nasibnya, mereka gak akan pilih chaos. Terlalu beresiko untuk itu.
Karena revolusi itu bukan cuma soal keberanian, tapi soal kehilangan opsi. Nothing to lose lah ibaratnya.
Penutup
Jadi, kalau suatu hari kamu lihat demo besar, lihat dulu harga beras. Kalau masih yaa bisa lah diusahain buat dibeli, atau semasa warung masih bisa ngadain pokwe, udah aman itu gak akan ada revolusi. Itu kalimat sakral yang gak mungkin kejadian.
Revolusi itu cuma bisa lahir dari satu hal: perut kosong. Udah itu aja.
Selama kita masih bisa bilang “bro, gas gacoan yuk?” maka negeri ini aman. Bukan karena pemerintahnya hebat, tapi karena rakyatnya 'terlalu kenyang untuk marah'. Kita sering ngira setiap kerusuhan kecil adalah tanda revolusi besar. Padahal belum tentu. Yang pecah itu mungkin emosi, bukan sistem. Yang panas itu mungkin jalanan, bukan ekonomi.
Revolusi itu gak muncul dari trending hashtag. Revolusi muncul waktu perut beneran kosong, waktu rakyat gak lagi punya alasan buat sabar. Dan sejauh ini, di negeri ini, semua aman terkendali. Makanan masih bisa dinikmati.
So, good luck and have a nice day!





19 Komentar
Yaa itulah negara kita tercinta indonesia. Banyak sekali tradisi ataupun ritual di beberapa daerah. Apalagi dengan budaya Jawa yang makin kental dengan horor..
BalasHapusNegara yang memiliki beragam suku tentunya sangat unik, tetapi bisa bersatu padu untuk keperluan bersama.... yups, demo kemarin bukti nyata
BalasHapusJadi ingat kata-kata Mahatma Gandhi: Bagi orang lapar, sepotong roti pun akan dianggap Tuhan. Sekrusial itu kan ya masalah perut. Poko'e selama perut aman, dunia akan aman-aman juga
BalasHapusTerlalu kenyang untuk marah :D Sudah terlalu banyak kepedihan rakyat negara kita. Masyarakat saat ini banyak yang kaya, lebih buanyaak lagi yang miskin. Kontras sekali perbandingannya yang sepertinya sulit diukur. Demo dilakukan sebagai luapan amarah. Semoga saja ke depannya Indonesia bisa lebih makmur secara riil ya aamiin.
BalasHapusSaya selalu berharap negeri ini tidak sampai ada revolusi yang mengubah tatanan secara ekstrim, walaupun rasanya banyak hal berjalan kearah yang salah. Ditahap dahlah bodo amat
BalasHapusMasyarakat itu gak punya pilihan lain, habis demo ya kembali ke kehidupan nyata, harus ngojek lagi, minimal bisa bertahan hidup saja sudah cukup. Mengapa demo sering terjadi? karena ini adalah keresahan massal. Keresahan ini tidak akan dirasakan oleh orang yang finansialnya baik atau kepentingannya belum terganggu, periuk nasi masih mengepul. Tapi ini bukan soal masalah makan saja, tapi sistem dan masa depan.
BalasHapusSaya sih berharap, Indonesia gak seperti revolusi Perancis ya. Tapi bisa saja terjadi jika masyarakat kelaparan pejabat malah terus berfoya-foya dan flexing. Sementara, Pemerintah masih tonedeaf, itu yang membuat demo berulang-ulang, kok gak didengar sih? Menurut saya segala masalah hidup masyarakat Indonesia saat ini adalah kegagalan pemerintah dalam mengatur negara ini.
Artikel yang menarik banget nih. Memang sih ya bangsa kita ini dikenal bangsa yang selalu bersyukur sampai ada konten 10 ribu di istri yang tepat. Heu
BalasHapusCadasss..suka baca tulisannya mulai dari demo, marah, lapar, sampai susah revolusi selama "yang penting masih bisa makan mie ayam + udud".
BalasHapusSaya setuju dengan sebagian besar isi tulisan ini tapi justru di bagian konklusinya saya berat untuk mengamini.
BalasHapus"Lapar" sebenarnya relatif tak bisa dipukul rata. Mungkin kelas menengah keatas masih bisa gas ke gacoan tapi yang benar-benar tidak memiliki makanan apapun untuk hari ini juga banyak, namun justru mereka tak bisa bersuara akibat terlalu 'lemah' kondisinya. Selama ada empati terhadap yang kelaparan, maka perjuangan tetap bisa dilakukan oleh semua orang di saat yang bersamaan.
Mereka yang tak bisa bersuara akibat terlalu 'lemah', itu 'lemah' karena apa? Kebanyakan adalah 'lemah' karena struktural atau 'lemah' karena perbuatan mereka sendiri. Misalnya, kena judol, terlilit utang, atau gemar ngadain pesta-pesta (di pedesaan, perayaan-perayaan seperti ini menjadi budaya yang malah membenani tuan rumah).
HapusTapi, meskipun dibilang 'terlalu lemah', makanan pokok itu masih sangat easy didapat, yang membuat sulit buat didapat biasanya karena kepala rumah tangganya kebanyakan ngudud.
Baru faham setelah baca artikel ini, selama masih bisa makan ya sudahlah
BalasHapusWaooowww.... lumayan berat juga ya. Well, semoga sih ngga harus sampai revolusi dan berharap negara kita aman-aman aja.
BalasHapusHarga sebuah revolusi tuh sangat mahal. Makanya memang saya juga suka berpikir kalau bisa jangan revolusi. Tapi, di sisi lain, mayoritas masyarakat Indonesia 'terlalu nrimo'. Sebetulnya perekonomiannya udah sulit, tapi masih tetap memilih terima nasib.
BalasHapusHarus ada kesadaran kolektif. Mereka yang saat ini mengalami kemiskinan struktural mungkin merasa udah gak punya energi untuk protes. Masyarakat yang masih diberi hidup layaklah berusaha meningkatkan empati. Bersuara untuk kepentingan kebaikan bersama.
Aduh, bagus banget. Bukan karena pemerintahnya hebat, tapi karena rakyatnya 'terlalu kenyang untuk marah'. Couldn't agree more ~
BalasHapusBacaan yang satire tapi related banget! 🤣 Setuju parah sama poin "cooldown rage bar 3 jam" dan "nongkrong di Alfamart abis kena gas air mata." Memang benar, di Indonesia ini level "marah" kita itu kayak sambal: pedasnya di awal, tapi abis itu langsung nyari minuman dingin buat netralisir. Konsep Satisficing Behavior dan ilusi harapan yang kamu bahas itu deep banget. Selama Indomie dan Gacoan masih affordable, ya sense of control itu masih ada. Revolusi itu too much effort dibanding healing dengan nonton drakor sambil ngemil. Mantap! Ditunggu tulisan ekonomi-psikologis selanjutnya
BalasHapusDemo sebenarnya adalah salah satu bentuk atau cara menyampaikan aspirasi, pendapat ketika melalui jalur formal tidak digubris. Selama kebebasan berpendapat masih dijamin negara sepertinya tidak akan ada hal genting.
BalasHapusJangan sampai ada revolusi lah ya. Terlalu mahal harga yang mesti dibayar. Reformasi mestinya sudah bisa bikin negeri ini membaik, tapi apa boleh buat? Faktanya tetap belum membaik.
BalasHapusAlways renyah Mas tulisanmu. Dan selalu baca sampai habisss.. 😂
BalasHapusWell, tulisanmu tuh nyentil poll..
Inget banget pas aku kuliah tuh, sering banget diajakin demo dan selalu kutolak dengan alasan yang sama "capek ah, panas² kudu orasi" . Eh, g ding...
Tapi gini deh, rasa nasionalis tuh nggak harus demo. Protes dengan cara yang keras masih ada kok dari sekedar demo. Coba deh orasi ke PBB atau forum HAM internasional minta indonesia nggak neko² .. 😂
Terus satu lagi, aku tuh penasaran kenapa selalu ada ritual bakar ban ya? Kayak udah template.. 🤧
Unik memang keadaan saat ini. Kalau pas ada berita demo entah mengapa bagian komentar nengtijen, demo kita itu jadi menginspirasi negara lain.. Hemm.
BalasHapusYa kalau menyalurkan aspirasi sih silakan aja, yang penting yang mendengar dan yang bersuara bisa duduk bareng. Jangan revolusi dah kalau bisa